Ujian nasional bukan hanya untuk mengukur capaian murid, tetapi juga untuk mendeteksi kelemahan dalam sistem pembelajaran, termasuk para guru.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil ujian nasional tingkat sekolah menengah tingkat pertama selama tiga tahun pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer menurun. Pada 2016, rata-rata nilai UN SMP/Mts sebesar 58,61, pada 2017 menurun menjadi 54,25, dan pada 2018 menurun lagi menjadi 51,08.
Hasil UNBK tersebut diyakini semakin kredibel karena potensi kecurangan semakin sulit dilakukan, dan menggambarkan capaian kompetensi lulusan siswa yang sesungguhnya. Meski mencerminkan nilai yang sebenarnya, hasil UN yang menurun harus menjadi otokritik bagi pemerintah, termasuk guru.
"Para guru pengajar mata pelajaran UN seharusnya menerima hasil-hasil telaah UN. Dengan demikian, mereka mengetahui indikator dan kompetensi dasar apa saja yang dinilai lemah. Laporan ke kami, masih banyak guru yang belum menerima hasil analisis (telaah) UN," kata Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim di Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Hal senada dikatakan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Totok Suprayitno. Hasil UN semakin reliabel dan dapat menjadi alat deteksi awal adanya kelemahan di dalam suatu sistem pembelajaran. Penurunan hasil UN diharapkan menjadi refleksi bagi sekolah, guru, dan daerah untuk memperbaiki proses pembelajaran di sekolah.
"Hasil UN ini menggambarkan proses pembelajaran oleh guru di ruang kelas ternyata secara umum belum memenuhi standar. Guru dinilai belum mengajarkan apa yang sudah ditetapkan dalam kurikulum," kata Totok.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah sekaligus Pelaksana tugas Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Hamid Muhammad pun mengatakan, hasil UN berguna untuk perbaikan proses belajar yang dilakukan guru. Hal ini terkit juga dengan perbaikan pelatihan guru yang tidak bisa dilakukan secara seragam.
“Pelatihan guru yang seragam tidak akan efektif memperbaiki permasalahan yang beragam di masing-masing sekolah,” kata Hamid.
Salah satu indikator
Dewan Pembina Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Najelaa Shihab mengapresiasi jika hasil UN jadi lebih kredibel. Namun, realitas kondisi pembelajaran yang sesungguhnya tidak bisa hanya dilihat dari hasil UN. UN hanya salah satu indikator yang mengukur sebagian kecil capaian murid.
"Kita perlu indikator-indikator dan asesmen lain yang lebih komprehensif, baik pada murid, guru maupun sekolah Misalnya apakah hasil akreditasi juga sudah menggambarkan kondisi sekolah atau hanya kerapihan administrasi. Apakah Uji Kompeteni Guru sudah menggambarkan kemampuan mengajar guru atau jangan-jangan hanya kemampuan guru menghafal dan menjawab soal," kata Najelaa.
Najelaa mengatakan, standar kompetensi lulusan (SKL) yang tercantum dalam dokumen saat ini belum betul-betul menggambarkan standar pencapaian siswa dari hasil pembelajaran dengan utuh. Misalnya beberapa masih terlalu abstrak, tidak jelas definisinya apa. Banyak aspek yang berkait dengan pencapaian hasil belajar belum dimuat, belum jelas perbedaan tingkat kompetensi antarjenjang tingkat pendidikan, masih kurang penekanan pada sikap afektif dan juga perilaku yang kongkrit.
"Untuk kualitas pendidikan, penting menggunakan indikator yang lengkap. Karena UN tidak lengkap, tidak sempurna, jangan sampai nanti UN kembali lagi menjadi satu-satunya tujuan, baik tujuan guru, tujuan pemerintah daerah, maupun tujuan Kemdikbud," kata Najelaa.