Kerawanan Sosial dan Tarik Ulur Subsidi
31 Mei 1998
Salah satu kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF) setelah Indonesia meminta bantuan lembaga keuangan internasional itu dalam krisis ekonomi 1998 adalah penghapusan subsidi. Hal itu terungkap dalam berita utama Kompas pada Minggu, 31 Mei 1998, dengan judul ”IMF Fleksibel soal Subsidi Bahan Pokok”.
IMF menginginkan Indonesia menghapus berbagai subsidi, seperti subsidi bahak bakar minyak, subsidi listrik, dan subsidi bahan pangan. IMF berargumen, subsidi menyebabkan ekonomi tidak efisien dan pemberian subsidi tidak tepat sasaran. Subsidi bahan bakar minyak, misalnya, dinikmati juga oleh pemilik kendaraan yang tidak termasuk ke dalam kelompok miskin.
Matriks kesepakatan ketiga dengan IMF menyebutkan, penghapusan subsidi untuk terigu, gula, jagung, bungkil kedelai, dan tepung ikan dimulai pada 1 Oktober 1998. Penghapusan subsidi bahan bakar minyak dilakukan tanpa batas waktu yang jelas.
Anggaran belanja negara yang dapat dihemat karena pengurangan subsidi dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan yang sangat diperlukan, seperti untuk infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Saat itu terjadi kerawanan sosial dan politik akibat kesulitan bahan kebutuhan pokok.
Salah satu subsidi yang disepakati untuk dihentikan adalah bahan kebutuhan pokok. Namun, pemerintahan Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden berunding dengan IMF agar subsidi untuk bahan kebutuhan pokok dapat ditunda. Alasannya, saat itu terjadi kerawanan sosial dan politik akibat kesulitan bahan kebutuhan pokok.
Baca juga: Jejak-jejak "Hantu" Kerusuhan Mei
”Potensi kerawanan sosial dan politik sebagai akibat kesulitan pengadaan bahan kebutuhan pokok membuat IMF lebih fleksibel dalam deadline (batas waktu) pemberian subsidi bagi bahan kebutuhan pokok. Namun, IMF menekankan, pulihnya stabilitas politik dan kepercayaan terhadap pemerintah berperan besar bagi pemulihan perekonomian Indonesia,” demikian teras berita Kompas, Minggu (31/5/1998).
Pernyataan itu berasal dari Hubert Neiss, Direktur IMF untuk Asia Pasifik, dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (30/5/1998), sekaligus mengakhiri kunjungan lima hari yang bertujuan mendapatkan suasana sosial, politik, dan perekonomian Indonesia yang berubah cepat dalam beberapa pekan terakhir ini, termasuk turunnya Soeharto setelah 32 tahun memerintah.
Potensi kerawanan sosial politik sangat tinggi. Di pinggiran Jakarta terjadi pembakaran mal dan beberapa kompleks perumahan. Warga masyarakat menyerbu toko-toko dan memborong barang kebutuhan sehari-hari, khawatir persediaan bahan pangan, mulai dari beras hingga susu, terutama untuk anak balita, dan barang-barang, seperti sabun, pasta gigi, dan sampo, akan lenyap dari pasar. Apabila keadaan tak terkendali, Indonesia dapat masuk ke dalam situasi ekonomi, sosial, dan politik yang lebih buruk lagi.
Baca juga: Amuk Massa yang ”Menyebar” di Jabotabek
Situasi tersebut memaksa IMF bersikap lebih fleksibel dalam pencabutan subsidi bahan kebutuhan pokok. Mencukupi kebutuhan pokok berkorelasi erat dengan stabilitas politik dan kepercayaan terhadap pemerintah. Dua hal itu berperan penting dalam mencapai pemulihan perekonomian Indonesia.
Mencukupi kebutuhan pokok berkorelasi erat dengan stabilitas politik dan kepercayaan terhadap pemerintah.
Kontraksi ekonomi dan merosot tajamnya nilai tukar rupiah hingga mencapai 7-8 kali nilai tukar sebelum krisis ekonomi membuat subsidi untuk impor bahan pangan dan bahan bakar juga meningkat. Hal ini menyebabkan perubahan asumsi makro perekonomian.
Baca juga: Habibie Butuh Rakyat setelah Hari-hari Kelam
IMF ketika setuju untuk menalangi anggaran belanja suatu negara yang dilanda krisis ekonomi akan ikut menentukan arah perekonomian. Saat itu terjadi penyesuaian struktural perekonomian dan dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama yang berpenghasilan rendah dan tetap, masyarakat miskin atau hampir miskin.
Namun, krisis ekonomi 1998 membuat pemerintah bertindak lebih hati-hati dalam kebijakan fiskal dan moneternya. Hasilnya, Indonesia dapat bertahan melalui sejumlah krisis ekonomi global, termasuk krisis finansial global tahun 2008.