Analogi menutup mata layak diberikan bagi pemilih di Jawa Timur untuk memilih Khofifah Indar Parawansa atau Saifullah Yusuf. Merujuk sejumlah hasil survei, elektabilitas di antara dua sosok itu bersaing sangat ketat. Kedua nama ini ”menghegemoni” kontestasi politik di Jawa Timur. Di Pilkada Jawa Timur 2008 dan 2013, misalnya, mereka menjadi kontestan yang paling diperhitungkan.
Ketatnya persaingan di antara kedua sosok itu bisa dilihat, antara lain, dari survei Litbang Kompas yang menunjukkan selisih elektabilitas Khofifah yang berpasangan dengan Emil Elestianto Dardak dan Saifullah yang berpasangan dengan Puti Guntur Soekarno amat tipis. Selisih elektabilitas kedua pasangan itu masih di bawah angka sampling error survei.
Mengapa persaingan antara Khofifah dan Saifullah cenderung sudah stuck dan boleh dikatakan tidak berubah? Pertama, baik Khofifah maupun Saifullah adalah kontestan lama di Pilkada Jawa Timur. Pilkada tahun ini adalah yang ketiga bagi keduanya. Ini membuat kedua sosok itu sudah lekat di memori pemilih. Pendek kata, mayoritas pemilih di Jawa Timur sudah mengenal keduanya.
Kedua, Khofifah dan Saifullah sama-sama lahir dan dibesarkan dalam tradisi nahdliyin. Keduanya kader dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), bahkan aktif dalam struktur kelembagaan NU. Dengan mayoritas pemilih di Jawa Timur adalah warga nahdliyin, sedikit banyak menjadi pasar pemilih yang sama antara Khofifah dan Saifullah. Hal ini terlihat dari tersebarnya pemilih dari kalangan NU kepada kedua pasangan calon, bahkan angkanya hampir terbelah, separuh pemilih nahdliyin ke Khofifah dan separuh lagi ke Saifullah.
Ketiga, pengalaman keduanya di pemerintahan juga relatif sama di mata pemilih. Khofifah yang pernah menjadi menteri, baik di era pemerintahan Abdurrahman Wahid maupun Joko Widodo, masih tertanam kuat dalam memori pemilih. Hal yang sama juga terjadi pada Saifullah yang pernah menjadi menteri di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan jadi Wakil Gubernur Jawa Timur. Pengalaman di pemerintahan menjadi faktor yang kuat memengaruhi pilihan pemilih terhadap dua sosok itu.
Tiga hal itu menjadi penguat mengapa Khofifah dan Saifullah amat mendominasi ”pertarungan” di Jawa Timur, hingga pada satu titik kualitas kontestasinya sebenarnya tidak lagi terletak pada sosok calon gubernurnya, tetapi pada sosok wakil gubernurnya. Pemerhati politik Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, menilai, munculnya dua sosok ini dalam tiga pilkada terakhir di Jawa Timur juga tidak lepas gagalnya partai politik melakukan kaderisasi. ”Partai politik gagal menawarkan sosok-sosok baru kepada publik,” katanya.
Meskipun demikian, Airlangga mengakui, kedua sosok ini masih yang terkuat dalam kontestasi pilkada di Jawa Timur. Ketatnya persaingan antara keduanya akhirnya membuat sosok wakil gubernur pendamping mereka menjadi faktor penentu.
Wakil menguatkan
Sosok calon wakil gubernur di Pilkada Jawa Timur kali ini akhirnya menjadi perhatian tersendiri. Ketua Tim Pemenangan Koalisi Pengusung Saifullah-Puti di Tulungagung, Supriono, misalnya, menyatakan, kehadiran Puti akan membangkitkan soekarnois dan tali persaudaraan di antara mereka yang sudah sekian lama hilang. Cucu dari presiden pertama RI Soekarno ini diharapkan mampu membangkitkan kembali simpatisan Bung Karno. Supriono menambahkan, kehadiran Puti sangat berpengaruh di kawasan Mataraman. Sementara Saifullah mewakili kawasan utara dan tapal kuda. ”Latar belakang tersebut menjadikan Saifullah- Puti sebagai duet yang ideal,” kata Supriono.
Hal yang sama juga dimiliki oleh Emil Dardak. Meski tergolong muda, latar belakang pendidikan yang dimiliki Emil menjadi nilai lebih untuk mencuri perhatian publik di Jawa Timur. Ketua DPC Partai Demokrat Tulungagung Sofyan Heri meyakini, sosok Emil akan berpengaruh pada tingkat keterpilihan pasangan Khofifah-Emil. Kinerja Emil di Trenggalek membuat masyarakat Tulungagung ingin memiliki pemimpin seperti itu. ”Apalagi jika melihat penampilan Emil di debat publik yang luar biasa, warga Tulungagung ingin memilih Emil,” kata Sofyan.
Dengan waktu tersisa kurang dari satu bulan hingga pemungutan suara 27 Juni mendatang, tim sukses kedua pasangan calon bekerja ekstra keras. Di Tulungagung, misalnya, partai pengusung Khofifah-Emil mempersiapkan saksi yang akan bertugas di dalam dan luar TPS. Hal itu dilakukan untuk mengawal suara. Sementara partai pengusung Saifullah-Puti masuk di tahapan tatap muka dengan calon pemilih karena sosialisasi dan konsolidasi telah mereka lakukan. Strategi politik melalui pintu ke pintu dan ”serangan darat” menjadi kunci bagi kedua pasangan calon untuk mampu menjaring aspirasi masyarakat. Cara ini diharapkan mampu mendongkrak suara.
Tantangan
Pemimpin Jawa Timur terpilih nantinya punya sejumlah tantangan yang harus diselesaikan, seperti kemiskinan dan lapangan kerja yang minim. Bastiar (25), seorang mahasiswa di Ponorogo, menyatakan, lapangan kerja di Jawa Timur sangat kurang. ”Pemerintah sempat menyatakan ada kebutuhan dua ribu tenaga kerja di akhir tahun, tapi sampai sekarang belum terdengar lagi kabarnya,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 906.904 penduduk Jawa Timur yang menjadi pengangguran terbuka pada 2015, dan angka tertinggi terdapat di ibu kota provinsi, yakni Surabaya, sebesar 102.914. Kehadiran lapangan pekerjaan akan berdampak pada perekonomian Jawa Timur dan pengurangan kemiskinan. Persentase penduduk miskin di provinsi ini, meskipun menurun pada 2011, penurunannya tidak signifikan. Pada 2016, masih terdapat 11,85 persen penduduk miskin di Jawa Timur dari total 39.075.152 penduduk. Angka yang termasuk tinggi ini menjadi persoalan yang harus diselesaikan pemimpin baru nanti di lima tahun mendatang.
Kedua pasangan calon sudah berjanji untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Khofifah menyatakan, rakyat Jawa Timur tak boleh miskin, bodoh, dan menderita sakit saat pemimpin dan pemerintah jadi kuat.
Begitu juga dengan Saifullah. Calon gubernur nomor urut dua ini mengatakan, kemiskinan dan kesenjangan harus diatasi (Kompas, 11/4/2018). Masyarakat Jawa Timur tentu akan senantiasa mengingat dan menagih janji tersebut saat mereka memimpin provinsi itu.