Pancasila tak hanya bernilai historis, tetapi juga menjadi penuntun perjalanan bangsa Indonesia. Agar dipahami secara utuh, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
JAKARTA, KOMPAS-Nilai-nilai Pancasila menjadi pemersatu berbagai keberagaman budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sepatutnya lima sila dasar negara tak hanya dimaknai secara historis, tetapi juga menjadi penuntun perkembangan bangsa hingga masa datang.
Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono mengatakan, kehadiran Pancasila yang diperkenalkan Presiden Soekarno pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 merupakan upaya pendiri bangsa menyatukan keberagaman di Nusantara. Pemersatu itu diperlukan karena Belanda justru menjadikan keberagaman sebagai cara untuk memecah belah.
”Pancasila berasal dari nilai- nilai akar budaya Indonesia yang memiliki perbedaan suku, agama, dan bahasa. Jadi, individu yang mengenal keberagaman akan toleran dan menghargai perbedaan,” ujar Hariyono saat diskusi ”Merawat Keberagaman, Menangkal Terorisme dan Radikalisme”, Rabu (30/5/2018), di Jakarta.
Menurut Hariyono, setidaknya ada sejumlah masalah yang menyebabkan pemahaman Pancasila mulai luntur dari kehidupan bangsa. Pertama, distorsi pemahaman yang menyebabkan kekosongan ideologi di generasi muda. Hal itu disebabkan kurangnya pendidikan mengenai Pancasila di lembaga pendidikan. Akibatnya, ideologi transnasional mudah muncul dan mengancam generasi milenial.
Kedua, kata Hariyono, merebaknya gejala eksklusivisme di sejumlah kalangan. Terakhir, terjadi masalah kelembagaan Pancasila karena upaya pemahaman Pancasila masih berkutat di lembaga pendidikan. Padahal, pemahaman ideologi tersebut juga harus terlihat di bidang lain, terutama budaya dan seni.
Untuk mengatasi masalah itu, menurut Hariyono, BPIP berkerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Arsip Nasional. Melalui kedua lembaga itu, kandungan falsafah Pancasila diharapkan bisa secara utuh dipahami, sekaligus mengakhiri perbedaan pendapat terkait sejarah Pancasila. ”Pancasila harus jadi landasan kita untuk membangun visi bangsa masa depan,” katanya.
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Sulthonul Huda menekankan, kondisi di Indonesia jauh lebih maju dibandingkan negara-negara Timur Tengah. Untuk mendirikan Indonesia, kaum agamis dan nasionalis duduk bersama dan menanggalkan kepentingan kelompok untuk kepentingan bangsa.
Ia mencontohkan, organisasi keislaman terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah, yang mewakili golongan Islam, saat persiapan kemerdekaan memahami keberagaman Indonesia. Untuk itu, kedua organisasi itu tak memaksakan ideologi Islam saat membentuk dasar negara.
”Untuk konteks Indonesia, konsep negara telah selesai. Sebab, Islam tumbuh berkembang dalam budaya Indonesia,” ujarnya.
Blokir
Direktur Jenderal Informasi Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Rosarita Niken Widiastuti berharap narasi kebangsaan disebarkan di dunia maya. Dari data Kementerian Kominfo, sekitar 144 juta warga Indonesia pengguna internet aktif berpotensi atas penyebaran paham radikal, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial.
Sebagai antisipasi terhadap penyebaran paham negatif, pada periode Januari-Mei 2018, Kementerian Kominfo telah memblokir 3.195 akun dan situs yang terindikasi memproduksi dan menyebarkan konten radikalisme dan terorisme.