JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Undang- Undang Hukum Pidana atau RUU HP yang saat ini masih dibahas oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat masih menyisakan sejumlah aturan yang bermasalah. Pemerintah diharapkan tidak memaksakan rancangan undang-undang tersebut disahkan tahun ini, sebab dikhawatirkan akan memicu problem hukum yang fundamental.
Salah satu ketentuan yang diusulkan untuk dimasukkan ke dalam RUU HP itu ialah hukum pidana adat. Pengakuan atas hukum adat itu bertujuan positif karena ingin mengakomodir hukum-hukum adat yang hidup dan tumbuh di tengah masyarakat. Pembuat undang-undang ingin memastikan Hukum Pidana memiliki corak yang khas Indonesia. Namun, pengaturan hukum pidana adat di RUU HP tanpa disertai dengan batasan yang jelas berpotensi menabrak asas legalitas.
“Ini problem mendasar yang belum diselesaikan oleh panitia perumus RUU HP. Hukum pidana adat itu berbeda-beda setiap wilayah atau kelompak adat. Tidak ada juga yang bisa menghitung berapa banyak delik pidana adat yang dikenal di Tanah Air. Bila pidana adat ini dimasukkan tanpa koridor yang jelas, kami khawatir akan banyak orang dikriminalisasi menggunakan hukum adat ini,” kata Erwin Natosmal Oemar, peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR), Rabu (30/5/2108) di Jakarta.
Pengaturan hukum pidana adat di RUU HP tanpa disertai dengan batasan yang jelas berpotensi menabrak asas legalitas.
Hukum pidana adat itu juga kemungkinan belum masuk atau tidak diatur di dalam hukum nasional, sehingga orang bisa dikenai hukum adat kendati secara formal perbuatannya itu tidak diatur oleh undang-undang. Bila ini yang terjadi, menurut Erwin, hukum pidana adat telah menabrak asas legalitas. Asas legalitas yang merupakan prinsip hukum pidana memberikan batasan bahwa suatu perbuatan tidak bisa dianggap melanggar hukum bila perbuatan itu belum diatur di dalam aturan atau hukum tertentu.
Erwin mengatakan, tim perumus harus menuntaskan dulu pembahasan mengenai hukum pidana adat yang dimasukkan ke dalam RUU HP. Argumentasinya harus jelas agar tidak menimbulkan implikasi buruk di masa datang.
“Saat ini masih ditemui banyak problem dalam kehidupan bermasyarakat, terutama bila dikaitkan dengan hukum adat. Jangan sampai kemudian muncul tirani mayoritas terhadap minoritas di dalam suatu lingkungan tempat tinggal atau komunitas hanya karena salah satu adat lebih dominan, sehingga hukum pidana adatnya yang dipakai. Padahal, hukum pidana adat itu pun tidak diketahui secara jelas apa ukurannya dan jenisnya. Jenis hukuman dalam pidana adat itu sendiri apakah sesuai dengan hak asasi manusia (HAM) dan asas keadilan, itu juga belum dikaji mendalam,” katanya.
Pengakuan hukum pidana adat di RUU HP jangan sampai juga mengganggu kemajemukan dan kerukunan hidup masyarakat. Selain itu, hukum adat bersifat sangat dinamis, atau tidak statis, sehingga amat mudah berubah seiring dengan perkembangan masyarakatnya.
Sejumlah Persoalan
Tidak hanya problem mengenai hukum pidana adat, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat sejumlah poin yang masih mengganjal dalam pembahasan RUU HP Sebelum segala persoalan itu dituntaskan, sebaiknya pemeirntah tidak buru-buru mengesahkan TKUHP.
Pertama, RUU HP dinilai masih berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi lebih besar melebihi KUHP produk kolonial. RUU HP memuat 1251 perbuatan pidana, 1198 di antaranya diancam dengan pidana penjara.
RUU HP dinilai masih berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi lebih besar melebihi KUHP produk kolonial. RUU HP memuat 1251 perbuatan pidana, 1198 di antaranya diancam dengan pidana penjara.
RUU HP juga dinilai tidak berpihak kepada kelompok rentan seperti perempuan dan anak. RUU tersebut juga membuka ruang intervensi yang lebih besar dari negara ke ruang-ruang privat warganya melalui pasal-pasal kesusilaan.
Di sisi lain, aroma kolonial masih ditemui ketika pasal penghinaan terhadap kepala negara dimunculkan kembali. Padahal, ketentuan serupa telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami berharap problem itu dituntaskan terlebih dulu sebelum pemerintah mengesahkan RUU HP. Jangan sampai RUU HP ini menimbulkan problem baru dalam reformasi hukum kita,” kata Erasmus Napitupulu, peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Dampak untuk KPK
Masuknya sejumlah norma tindak pidana korupsi ke dalam RUU HP juga dikhawatirkan akan berujung pada upaya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kewenangan KPK sebagai lembaga khusus luruh saat sebagian besar pasal pidana korupsi disatukan dalam KUHP.
“Ini berisiko pada KPK dan pemberantasan korupsi. Salah satunya, terkait dengan kewenangan kelembagaan KPK. Mandat KPK adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor, bukan KUHP. Jadi jika masuk dalam KUHP, bunyi Pasal 1 Ayat (1) UU KPK itu apa akan tetap berlaku atau tidak? Di KUHP tidak ditegaskan juga kewenangan lembaga KPK,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta.
Mandat KPK adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor, bukan KUHP. Jadi, jika norma pidana korupsi masuk dalam KUHP, bunyi Pasal 1 Ayat (1) UU KPK itu akan tetap berlaku atau tidak?
Selain itu, modus operandi korupsi yang cepat bergerak membutuhkan aturan yang bisa menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan, KUHP tidak bisa diubah sewaktu-waktu. Belum lagi, ancaman pidana dan besaran denda menjadi lebih rendah. Selain itu, pidana berupa uang pengganti juga tidak diatur karena tetap masuk berada di UU Pemberantasan Tipikor.
Terkait dengan hal ini, KPK telah meminta agar pemerintah mengeluarkan pasal tentang korupsi dari RUU HP jika berniat untuk memperkuat pemberantasan korupsi. KPK, tambah Laode, telah mengirimkan surat sebanyak lima kali ke pemerintah.