Rokok Elektrik Belum Terbukti Aman
JAKARTA, KOMPAS—Rokok elektrik yang beredar dan diklaim lebih aman dari rokok konvensional belum terbukti aman. Rokok elektrik tetap sama bahayanya dengan rokok konvensional.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto memaparkan hal itu dalam jumpa pers peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia tahun 2018 di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Rokok elektronik mengandung nikotin, zat toksik, dan zat bersifat karsinogen (pemicu kanker). Bahan yang juga ada di cairan rokok elektrik antara lain logam berat, formaldehida, aldehida, silikat, nanopartikel, dan particulate matter (PM).
Cara kerja rokok elektrik ialah tidak dibakar, tetapi dipanaskan dengan baterai sehingga tidak menghasilkan asap, tetapi uap. Uap yang dihasilkan rokok elektrik tetap mengandung nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik bersifat iritatif dan menyebabkan inflamasi atau peradangan.
Dalam tiap isapan rokok elektrik mengandung 0-35 mikrogram nikotin. Menghirup rokok elektrik 30 kali mencapai nikotin 1 miligram atau setara yang terkandung pada rokok konvensional. Selain berdampak buruk bagi perokoknya, uap rokok elektronik berbahaya bagi orang lain di sekitar perokok.
Rokok elektrik dan konvensional berbahaya karena kandungannya sama. ”Kalau disebut kandungan rokok elektronik lebih aman dari rokok konvensional karena volumenya lebih sedikit, itu soal waktu. Tak ada batas aman bagi zat-zat berbahaya pada rokok konvensional dan elektrik,” ujarnya.
Tak ada batas aman bagi zat-zat berbahaya pada rokok konvensional dan elektrik.
Dalam studi yang dipaparkan pada pertemuan tahunan American Urological Association 2017 disebutkan, pada urine perokok elektronik, ada dua zat karsinogen, yakni otoluidine dan 2-naphthylamine.
Menurut dokter spesialis paru dari Klinik Berhenti Merokok RSUP Persahabatan, Feni Fitriani Taufik, rokok elektronik bukan terapi baku untuk berhenti merokok. Nikotin di rokok elektrik juga bisa memicu kecanduan.
Cukai rokok
Agus berharap pemerintah menaruh perhatian serius terkait maraknya rokok elektrik. Menurut Global Youth Tobacco Survey 2011, prevalensi perokok elektronik pada remaja di Indonesia 0,3 persen. Menurut rencana, pemerintah mengenakan cukai maksimal pada rokok elektrik 57 persen per 1 Juli 2018.
Upaya pemerintah mengendalikan produk tembakau dengan menaikan tarif cukai rokok dinilai belum berdampak. Harga rokok yang dijual di Indonesia masih terjangkau oleh masyarakat, bahkan anak-anak. Akibatnya, konsumsi rokok pun masih tinggi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017, kenaikan tarif cukai untuk jenis sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 10,9 persen dan sigaret putih mesin (SPM) sebesar 13,5 persen. Kenaikan tarif untuk sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 7,3 persen.
Namun, hasil pemantauan harga rokok yang dilakukan Yayasan Lentera Anak dan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) Warrior, hingga Februari 2018, harga rokok dinilai masih murah dan terjangkau oleh masyarakat, termasuk anak-anak. Pemantauan ini dilakukan terhadap 10 merek rokok di 46 warung yang tersebar di 19 kota, seperti Bogor, Pandeglang, Pekanbaru, Kepulauan Mentawai, Bandarlampung, Jakarta, Jember, Mataram, Padang, Langsa, Palu, Semarang, dan Yogyakarta.
Dari 19 kota yang dipantau, kenaikan harga rokok hanya ditemui di 6 kota, yaitu Pekanbaru (Riau), Bandarlampung (Lampung), Jember (Jawa Timur), Pandeglang (Banten), Mataram (Nusa Tenggara Barat), dan Langsa (Aceh). Kenaikan harga rokok pun yang paling mahal hanya sebesar Rp 500 per batang.
“Padahal peningkatan cukai ini dilakukan agar harga rokok bisa lebih tinggi sehingga dapat mengendalikan konsumsi rokok pada masyarakat. Tetapi kenyataannya, harga rokok masih terjangkau,” kata Ketua Badan Khusus Pengendalian Tembakau Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Widyastuti Soerojo di sela-sela diskusi bertajuk “Sudahkah PMK 2017 Membuat Rokok Mahal” di Jakarta, Rabu (30/5/2018).
Peningkatan cukai ini dilakukan agar harga rokok bisa lebih tinggi sehingga dapat mengendalikan konsumsi rokok pada masyarakat. Tetapi kenyataannya, harga rokok masih terjangkau.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi perokok pada usia lebih dari 15 tahun di Indonesia terus meningkat. Pada 2010, prevalensi perokok 34,7 persen. Angka itu meningkat pada 2013 menjadi 36,3 persen.
Salah satu anggota FCTC Warrior dari Palu, Muhammad Syafaat berpendapat, harga rokok yang rata-rata masih sebesar Rp 1.000—Rp 1.500 per batang masih sangat murah dan terjangkau oleh anak-anak. Selain itu, upaya pemerintah untuk melindungi anak-anak dari bahaya rokok belum terlihat.
“Anak-anak mudah mengakses rokok. Misalnya saja di Palu, ketika anak-anak menanyakan harga rokok, pemilik warung langsung memberikan rokok tanpa menanyakan umur anak ini,” ujarnya.
Selain itu, harga yang murah dan pembelian yang bisa dilakukan secara eceran atau per batang, mempermudah akses anak untuk mendapatkan rokok. Iklan rokok dengan mudah dijumpai di lingkungan sekitar.
Widyastuti berpendapat, kebijakan tarif cukai yang saat ini berlaku perlu dievaluasi. Pemerintah sebaiknya tak ragu menaikkan tarif cukai rokok lebih tinggi lagi. “Pertimbangan yang selama ini jadi alasan untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok adalah industri kecil. Namun, pada 2014 tercatat, 84 persen pasar rokok itu dikuasai industri besar,” katanya.
Nasruddin Djoko Surjono, Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menanggapi, pemerintah terutama Kementerian Keuangan, berkomitmen mengendalikan peredaran rokok di Indonesia melalui tarif cukai. Namun kenaikan tarif cukai dilakukan secara perlahan.
“Kenaikan cukai ini juga harus diimbangi dengan pengawasan yang semakin baik. Jika langsung dinaikkan tinggi, indikasi pelanggaran seperti masuknya rokok ilegal juga semakin banyak. Untuk itu, semua sektor harus berjalan bersama,” ujarnya.