Usia lanjut, fisik renta, terik sang surya bukan halangan bagi Dalam (79) dan Mamud (67) untuk bekerja. Dalam berjalan kaki menjual sapu ijuk. Sementara Mamud mengayuh becak di tengah maraknya ojek online atau daring.
Sinar mentari cukup menyengat di persimpangan Jalan Patriot, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (31/5/2018) pagi. Dalam membungkuk di tepi jalan. Tangan kirinya meraba-raba tanah. Dia mencari tongkat bantu jalannya yang terlepas dari genggaman. Jemari yang dibungkus kulit keriput menyasak rumput dan butiran debu. Setelah beberapa saat, dia berhasil memungut tongkat yang tergeletak di belakang kaki kirinya.
Dalam pun berdiri tegak kembali. Dia merapikan topi hitamnya yang sudah memudar warnanya dan membenarkan letak sejumlah sapu ijuk serta sapu lidi yang disokong di bahu kanannya.
Tanpa alas kaki, Dalam melanjutkan langkahnya, perlahan dan sangat hati-hati sesuai panduan tongkatnya agar tidak tersandung, apalagi terjatuh ke lubang selokan. Seiring dengan langkahnya yang pelan, tas hijau muda pun ikut berayun pada sikut sebelah kanan Dalam.
”Sapu niki regane selangkung (Sapu lantai ijuk ini harganya Rp 25.000), sapu lidi niki enem ewu (sapu lidi pembersih kasur atau karpet Rp 6.000),” kata Dalam.
Dalam berangkat dari rumahnya di Desa Karangsari, Kecamatan Kembaran, Banyumas, menggunakan angkutan umum dan turun di Moro Mall Purwokerto yang berjarak sekitar 6,2 kilometer. Selanjutnya, dia berjalan kaki menyusuri Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Patriot.
Kamis pagi, Dalam membawa lima sapu lantai dan tujuh sapu lidi pembersih kasur. Bapak tiga anak dan kakek lima cucu ini pun sudah tidak dapat melihat. ”Kula pun mboten sumerep kawit umur sewidak (Saya sudah tidak bisa melihat sejak umur 60 tahun,” ucap Dalam.
Salah seorang pembeli sapu menuturkan, sapu buatan Dalam awet dan kualitasnya baik.
”Sejak saya kecil selalu pakai sapu buatan mbah ini. Bagus,” ujar pembeli itu sambil memilih satu sapu ijuk untuk dibelinya. Setelah menerima uang penjualan sapu, Dalam pun mengucapkan terima kasih, ”Matur nuwun.” Kakinya kembali melangkah ke arah selatan, menjual sisa sapu yang ada di bahunya.
Masih di persimpangan Jalan Patriot, Purwokerto, Mamud duduk bersandar di dalam becak menunggu penumpang. Bapak satu anak dan kakek tiga cucu ini menarik becak sejak 1982. Istri dan keluarganya tinggal di Jatibarang, Brebes. Dia merantau ke Purwokerto menjadi tukang becak dan pulang kampung sebulan dua kali.
”Dulu, sebelum ada ojek online, sehari bisa narik 10 kali. Sekarang, paling banter 3 kali narik,” kata Mamud.
Upahnya Rp 10.000 sekali narik untuk jarak sekitar 1,5 kilometer. Dalam sehari, Mamud mendapatkan pemasukan Rp 30.000. Pemasukan itu pun harus dipotong dengan uang sewa becak kepada pemilik becak sebesar Rp 5.000 per hari.
Di Purwokerto, dia tinggal di salah satu warung ayam goreng. Ia tidak dipungut biaya dan juga tidak dibayar, tetapi diperkenankan tinggal oleh sang empunya warung sambil diminta menjaga pada waktu malam hari. ”Kadang, kalau beli nasi di sana, tidak disuruh membayar,” ujar Mamud.
Seperti kata bijak, daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin. Daripada berpangku tangan menonton kehidupan, Dalam dan Mamud terus melakoni peran dan tanggung jawabnya.
Meski usia Dalam dan Mamud sudah lanjut, mereka tetap mengisi kehidupan dengan bekerja. Di tengah gempuran kemajuan zaman dan modernitas, mereka bertahan. Seperti kata bijak, daripada mengutuki kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin. Daripada berpangku tangan menonton kehidupan, Dalam dan Mamud terus melakoni peran dan tanggung jawabnya.