Wapres: Perbedaan Partai Nasionalis dan Agama Semakin Tipis
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik di Indonesia saat ini mengalami banyak dinamika dan pembaruan. Dinamika ini membuat perbedaan antara parpol dengan ideologi nasionalis dan agama menjadi semakin tipis. Oleh sebab itu, parpol perlu menyesuaikan program-programnya dengan kebutuhan masyarakat secara luas.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan, dalam dinamika pembaruan, solidaritas anggota parpol perlu semakin diperkuat. ”Partai Golkar tentunya mempunyai sejarah di masa lalu. Hari ini tentu kita merasa ada solidaritas baru. Setelah mengalami gelombang besar, tentu sisa riak-riaknya masih ada. Semua itu yang harus sama-sama kita perbaiki,” ujarnya dalam acara silaturahim dan buka bersama Partai Golkar di Kantor DPD I Partai Golkar, Jakarta, Jumat (1/6/2018).
Kalla menjelaskan, dalam skala perpolitikan, ada parpol berideologi nasionalis dengan parpol berideologi agama. ”Namun, saat ini perbedaan di antara kedua parpol ini sangat tipis. Oleh sebab itu, langkah-langkah yang diambil untuk mengedepankan Indonesia juga hampir sama,” ujarnya.
Menurut Kalla, yang membedakan di antara kedua ideologi parpol ini adalah prestasinya. Prestasi ini dapat diraih dengan kinerja yang baik dari anggota parpol untuk membuat program yang memajukan bangsa.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menjelaskan Partai Golkar telah membentuk citra partai nasionalis yang religius. Selain itu, dalam rangka Hari Kelahiran Pancasila, Partai Golkar berkomitmen menjadikan empat pilar bangsa sebgai landasan filosofis parpol.
”Pancasila telah menjadi filosofi dasar kehidupan berbangsa. Semua kelompok, agama, dan golongan mendapatkan tempat dan menjadi bagian dari NKRI,” ucapnya.
Selain itu, dalam rangka 20 tahun reformasi, saat ini Partai Golkar telah memberi warna untuk kehidupan demokrasi berbangsa. ”Demokrasi telah memberi warna dalam pemilu langsung, baik pilpres, pileg, maupun pilkada,” katanya.
Target
Dalam kesempatan kali ini, Airlangga menjelaskan, Partai Golkar memiliki target pemenangan 56-60 persen suara untuk Pilkada 2018 dan target 18 persen perolehan suara untuk Pileg 2019.
”Terkait detail wilayah pemenangan, tentu ini menjadi pembahasan internal kami. Selain itu, untuk cawapres pendamping Joko Widodo akan kami bahas lebih lanjut setelah Pilkada 2018,” katanya.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus mengatakan, optimisme para anggota DPD meraih 60 persen suara menjadi dasar pertimbangan Partai Golkar untuk mencalonkan Airlangga sebagai wapres Jokowi.
”Tugas Airlangga sekarang terus berusaha menaikkan elektabilitasnya. Beliau sebagai Ketua Umum Partai Golkar perlu punya nilai jual tinggi di masyarakat. Para ketua DPD sedang menggalakkan hal itu, dengan relawan Golkar Bersama Jokowi (Gojo). Sekarang sudah ada hampir 300 bilboard iklan yang menampilkan Jokowi, Airlangga, dan Ketua DPD yang terpasang di sejumlah daerah,” ujarnya.
Terkait peluang Kalla kembali menjadi cawapres, Loedwijk menyampaikan, hal tersebut akan dibahas jika sudah ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan wapres menjabat lebih dari dua periode berturut-turut.
”Pak Kalla juga merupakan kader Partai Golkar. Kami masih tunggu putusan dati MK. Selain itu, keputusan cawapres tergantung dari Jokowi sendiri. Namun, kader kami menginginkan Ketua Umum Partai Golkar menjadi pendamping Jokowi,” katanya.
Selain itu, Loedwijk juga mendukung rencana Komisi Pemilihan Umum yang melarang mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai caleg. Menurut dia, hal tersebut sudah sesuai dengan tagline Golkar Bersih yang dicanangkan oleh Airlangga.
”Kami juga sudah membentuk Majelis Etik di internal partai untuk mencegah caleg bermasalah. Namun, KPU juga perlu mengantisipasi agar rencana tersebut tidak berbenturan dengan peraturan perundang-undangan yang lain,” ujarnya.