JAKARTA, KOMPAS — Seiring melonjaknya jumlah warga lanjut usia atau lansia, potensi dukungan sosial bagi mereka ikut berubah. Saat ini, 40 persen lansia hidup tanpa pasangan dan 1 dari 10 lansia tinggal sendirian. Melemahnya dukungan itu membuat lansia kian rentan serta meningkatkan risiko dan keparahan penyakit yang berujung kematian.
Dukungan sosial itu penting karena fungsi tubuh lansia umumnya menurun. Tak hanya mudah sakit, mereka juga lebih berpeluang mengalami perubahan mental. Pada saat bersamaan, mobilitas penduduk yang makin tinggi membuat anak makin cepat meninggalkan orangtuanya.
Selain kesenjangan geografis, lansia yang tinggal dengan anak juga menghadapi banyak masalah. Lansia akan merasa terpinggirkan oleh nilai-nilai baru yang dianut generasi lebih muda. Beda pandangan soal selera musik, cara berpakaian, atau relasi laki-laki dan perempuan bisa menjadi sumber stres bagi lansia.
”Pemerintah perlu segera mengantisipasi situasi itu dengan kebijakan tepat, tidak bisa hanya responsif,” kata peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan dan dosen Departemen Geografi dan Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sukamdi, Jumat (1/6/2018).
Sebagian anak mengompensasi jarak terpisah itu dengan mengupah orang lain untuk menjaga orangtua mereka. Namun, tidak semua anak punya kondisi keuangan yang memadai sehingga akhirnya banyak lansia telantar, sendiri, dan miskin.
Kini, Indonesia punya hampir 25 juta lansia atau 9,3 persen penduduk. Jumlah lansia itu lebih besar daripada jumlah anak berusia di bawah lima tahun (balita) yang mencapai hampir 24 juta orang.
Pada 2020, struktur penduduk Indonesia menua karena ada 10 persen lansia. Tahun 2035, setelah bonus demografi, Indonesia punya 48 juta lansia atau 16 persen penduduk. Jumlah ini setara dengan dua kali jumlah anak balita saat itu.
”Jumlah lansia akan terus bertambah, sementara jumlah anak balita akan stagnan,” kata Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia (IPADI) Sudibyo Alimoeso.
Dukungan sosial lansia bisa berasal dari pasangan atau keluarga. Nyatanya, 4 dari 10 lansia hidup tanpa pasangan. Lansia perempuan yang hidup tanpa pasangan tiga kali lebih besar daripada lansia laki-laki karena perempuan punya usia harapan hidup lebih panjang dan cenderung tidak menikah lagi.
Sementara, banyak lansia dan calon lansia masih bercita-cita hidup bersama anak cucu mereka di hari tua. Saat ini, 60 persen lansia memang tinggal bersama keluarga besar, tetapi pelan tapi pasti, sistem keluarga besar itu akan kian tergerus.
Sistem kekerabatan
Meski akan terus turun dan sulit, Sudibyo yang juga menjadi Direktur Pusat Kajian Keluarga dan Kelanjutusiaan Universitas Respati Indonesia (Urindo) mengatakan, sistem kekerabatan dalam keluarga agar tetap mau merawat lansia harus dipertahankan. ”Negara-negara maju pun berusaha mempertahankan kultur itu,” katanya.
Tantangan mengurus lansia itu kian sulit seiring kendurnya perhatian warga kepada lansia. Di perdesaan, kesadaran memperhatikan lansia sekitar masih ada. Namun, di perkotaan, situasinya lebih sulit. Padahal, separuh penduduk ada di kota dan pada 2035, dua pertiga penduduk Indonesia ada di kota.
Lemahnya dukungan itu sudah terjadi saat ini. Sejumlah kasus lansia hilang, telantar, atau meninggal tanpa diketahui waktunya hanyalah sebagian kecil kasus yang menunjukkan rentannya lansia.
”Karena itu, lansia perlu disiapkan sejak dini, sejak dalam kandungan, agar mampu menjadi lansia yang sehat, mandiri, dan produktif,” kata Sudibyo. Lansia yang tangguh itu membuat mereka tidak menjadi beban bagi keluarga atau masyarakat.
Karena itu, lansia perlu disiapkan sejak dini, sejak dalam kandungan, agar mampu menjadi lansia yang sehat, mandiri, dan produktif.
Selain menyiapkan lansia, pemerintah, khususnya pemerintah daerah, perlu menyiapkan infrastruktur ramah lansia. Terlebih, jumlah lansia di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Utara sudah lebih dari 10 persen.
Pusat kegiatan lansia
Sejumlah negara maju, seperti Finlandia, menyikapi besarnya jumlah lansia dengan membangun pusat-pusat kegiatan lansia. Di tempat itu, lansia akan berkumpul pada hari-hari tertentu untuk berolahraga, membuat kriya atau sekedar berkumpul, bercakap-cakap, serta makan bersama rekan sebaya.
Di Indonesia, lanjut Sukamdi, model itu bisa diterapkan, disesuaikan dengan budaya tiap daerah. Lansia Indonesia umumnya punya kesadaran tinggi untuk mendekatkan diri pada agama. Kondisi itu bisa dioptimalkan dengan membentuk pesantren lansia yang diintegrasikan dengan pesantren umum sehingga transfer nilai antargenerasi bisa dilakukan.
Lansia tetap tinggal di rumah masing-masing, tetapi pada hari-hari tertentu berkegiatan di pesantren lansia. Pertemuan dengan rekan sebaya itu akan menghindarkan lansia dari stres dan kesendirian yang memperburuk kondisi kesehatannya.
”Meski demikian, model pengembangan lansia yang tinggal di rumah sendiri dan aktif berkegiatan di luar itu akan sulit berjalan jika tidak didukung sarana transportasi, jalan, trotoar, atau toilet umum yang ramah lansia,” katanya.