JAKARTA, KOMPAS - Komunikasi politik Presiden Joko Widodo dan pemerintahan yang dipimpinnya menjadi hal penting dalam menjaga demokrasi. Sejumlah riak dalam praktik demokrasi bisa diatasi dengan komunikasi politik yang terkonsolidasi dan efektif.
Masalah tersebut menjadi salah satu topik yang dibahas dalam pertemuan antara Presiden dan sekitar 30 pengajar ilmu politik, pengamat, serta pemilik lembaga survei di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (31/5/2018). Mereka yang hadir antara lain akademisi Universitas Indonesia seperti Valina Singka dan Hamdi Muluk, akademisi Universitas Gadjah Mada seperti Arie Sudjito, serta dari Universitas Airlangga seperti Ramlan Surbakti, Haryadi, dan Airlangga Pribadi. Hadir juga Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, Direktur Indobarometer M Qodari, dan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraeni.
Menurut Airlangga, dalam pertemuan itu Presiden ingin mendengar masukan terkait isu sosial-politik yang berkembang belakangan ini. Selain itu, terkesan kuat bahwa Presiden risau dengan menguatnya fragmentasi sosial, hoaks dan ujaran kebencian, serta manipulasi agama untuk kepentingan politik semata.
Terkait hal itu, menurut Airlangga, Presiden dan pemerintahannya perlu melakukan komunikasi politik secara teguh. Pemerintah perlu memunculkan narasi dan argumen demokratis sebagai alasan kebijakan keamanan dan politik yang diambil.
”Kita tak bisa toleran terhadap intoleransi, karena ini akan jadi bagian dari penyelamatan demokrasi itu sendiri,” ujar Airlangga.
Masalahnya, menurut pengajar di Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, humas pemerintah di kementerian dan lembaga belum terkonsolidasi baik. Akibatnya, isu tak benar dan tak produktif terus bermunculan dan mendominasi ruang media sosial. Humas kementerian dan lembaga yang terkoordinasi baik tak hanya efektif melawan informasi tidak benar, tetapi juga dapat ikut menyebarkan makna keindonesiaan.
Menurut Arie Sudjito, ketegangan politik bisa diatasi dengan cerita-cerita lokal, seperti yang membahas keberhasilan desa dalam mengelola dana desa atau sejumlah inovasi di daerah serta komunitas. Pasalnya, ada banyak cerita keberhasilan dari daerah. ”Jika demokrasi hanya ditandai oleh kontestasi elite yang terepresentasi akhir-akhir ini, bahaya,” ujar Arie.
KTP elektronik
Terkait penyelenggaraan pemilu, Titi mengingatkan perlindungan hak pilih warga negara dan persyaratan penggunaan KTP elektronik dalam pemilu berikut. Hal itu membuat pemerintah perlu serius menangani data kependudukan dan mengelola KTP-el. Kejadian seperti tercecernya ribuan KTP-el rusak dalam pengangkutan di Bogor pada Sabtu pekan lalu dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat.
Sementara itu, Ramlan menyoroti efektivitas pemerintahan daerah. Saat ini dana transfer ke daerah mencapai Rp 701 triliun dan berbagai urusan sudah diserahkan ke daerah. Apabila tak ada evaluasi dari pemerintah pusat, gelontoran dana itu hanya seperti cek kosong. ”Semestinya pemerintah pusat mengevaluasi apakah dana transfer daerah benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat?” ujarnya.
Pasalnya, lanjut Ramlan, efektivitas pemerintahan daerah sangat bergantung pada kepemimpinan kepala daerah.