Membangun Budaya Bijak Bermedia Sosial
Anak-anak adalah generasi native digital yang akan hidup dengan teknologi yang mungkin sekarang pun belum diciptakan. Karena itu, mereka harus dibekali agar memiliki kesadaran dan literasi berjejaring di dunia digital.
Begitu banyak anak telah bersinggungan langsung dengan aneka macam platform media sosial. Ironisnya, kesadaran mereka terhadap berbagai macam risiko di baliknya masih sangat rendah.
”Kalau anak-anak di bawah umur seperti kami apakah bisa dijerat hukum?” Pertanyaan polos ini muncul dari mulut Aldio, siswa kelas 7 SMP Kolose Kanisius Jakarta, setelah Kepala Biro Multimedia Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rikwanto memperingatkan agar siapa pun berhati-hati dalam menyebarkan informasi di media sosial, Kamis (31/5/2018), dalam Seminar ”Kanisian Membangun Budaya Bijak Bermedia Sosial”.
Seminar di SMP Kolose Kanisius Jakarta ini juga menghadirkan Direktur 168 Solution dan Konsultan Digital Interaksi Kementerian Komunikasi dan Informatika Grace Heny.
”Anak-anak di bawah usia 18 tahun bisa dihukum, tetapi tidak dipenjara dengan orang-orang dewasa. Mereka dibina di panti sosial, diadili di peradilan anak yang tidak dibuka untuk umum. Hak-hak mereka tetap diberikan seperti sekolah dan mengikuti ujian, tetapi mereka dikurung pada tempat tertentu,” kata Rikwanto menanggapi pertanyaan Aldio. Mendengarkan penjelasan itu, beberapa anak langsung berpandangan.
Kepada anak-anak SMP peserta seminar ini, moderator seminar, Theresia Benedikta Nadin, juga mengingatkan lagi kasus RJ, anak berusia 16 tahun yang ditangkap polisi karena menghina Presiden Joko Widodo dalam sebuah video berdurasi 19 detik di Youtube. Meski RJ mengaku hanya iseng, ia tetap dijerat Pasal 27 Ayat 4 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Michael, siswa kelas 8 SMP Kolose Kanisius Jakarta, juga mengajukan pertanyaan. ”Kalau kami merekam dengan video tindakan seseorang, lalu kami sebar di media sosial bagaimana Pak?” ucapnya.
”Hal-hal yang bersifat privasi atau menyangkut hak-hak individu jangan kita sebarkan, nanti kita bisa dituntut. Sebaiknya dilihat lagi dan dipelajari segala informasi yang kita dapat. Jangan sampai kita melanggar hak-hak privasi orang. Kalaupun melihat orang melakukan kejahatan, lebih baik dilaporkan kepada polisi,” kata Rikwanto.
Hal-hal yang bersifat privasi atau menyangkut hak-hak individu jangan kita sebarkan, nanti kita bisa dituntut. Sebaiknya dilihat lagi dan dipelajari segala informasi yang kita dapat.
Lebih dari setengah penduduk Indonesia telah menggunakan internet. Media sosial semakin memudahkan siapa pun berkomunikasi, menyuguhkan panggung-panggung ekspresi bagi siapa saja.
Siapa pun ingin merekam, mengambil gambar, dan membagikan informasi apa pun. Masalahnya, sebagian besar informasi dan berita yang beredar di media sosial tidak jelas sumbernya, tidak kredibel, dan tidak bertanggung jawab. Rikwanto memberikan tips sederhana kepada anak-anak untuk menangkap penyebaran berita bohong, yaitu dengan 4C: cermati, cek, cari, dan cepat.
”Pesan saya, pertama jangan melanggar hukum dengan menyebarkan berita-berita hoaks atau ujaran kebencian. Kedua, hormatilah orang-orang sekitar, baik orangtua, guru, maupun sahabat. Kalau kita sedang berbicara dengan mereka, sebaiknya kita simpan dulu telepon selular kita. Saat ini etika itu sudah luntur. Ketiga, mari kita gunakan media sosial dengan cara-cara benar. Media sosial diciptakan untuk membangun kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, bukan untuk saling memusuhi. Keempat, atur waktu kapan harus menggunakan gadget,” katanya.
Waspada dan berhati-hati
Pada kesempatan itu, Grace menyampaikan panduan-panduan teknis dalam bermedia sosial yang aman. Grace mengingatkan kepada anak-anak agar berhati-hati memasukkan informasi dan data diri ke media sosial.
”Di akun-akun media sosial, biasanya kita ditanya e-mail, asal kota mana, lahir di mana, dan lokasi di mana. Sebaiknya kita mengurangi informasi yang tidak diperlukan di media sosial. Kalau tidak diperlukan, informasi apa pun jangan dimasukkan,” katanya.
Sebaiknya kita mengurangi informasi yang tidak diperlukan di media sosial. Kalau tidak diperlukan, informasi apa pun jangan dimasukkan.
Grace juga mengingatkan kepada anak-anak untuk selalu mematikan fitur lokasi atau GPS (global positioning system) karena sejumlah kasus penculikan berawal dari sini. Ketika fitur lokasi hidup, siapa pun bisa melacak posisi kita.
Banyak pula para pengguna sosial media yang tanpa sadar mem-posting atau mengunggah alamat rumahnya, sekolah, tempat kerja orangtua, dan sebagainya. Sejumlah kasus perampokan terjadi karena pelaku mengamati kebiasaan korban dan kemudian melacak rumah korbannya.
”Kita boleh narsis, tetapi perlu paham apa yang bisa kita sebarkan di media sosial,” ucap Grace.
Melalui media sosial, seseorang bisa dikuntit (stalking) siapa pun. Dalam sejumlah kasus kejahatan siber, polisi berhasil menemukan pelaku dengan melacak alamat IP (Internet Protocol), menggunakan aplikasi pemantau keyword, melihat pola tulisan, dan mempelajari big data machine.
Grace mengingatkan pula tentang pentingnya berhati-hati menggunakan internet karena segala jejak digital yang kita lakukan tidak akan hilang. Sebab, apa pun yang kita akses, kita tonton, kita tulis, kita dengar, dan kita unduh di internet selamanya akan tersimpan.
Harimaumu adalah mulutmu, jarimu adalah identitasmu. Begitu Grace mengingatkan anak-anak. Menurut Grace, bagaimanapun anak-anak adalah generasi native digital, sementara orang-orang dewasa sekarang adalah generasi migrant digital.
Anak-anak akan hidup ke depan dengan teknologi yang mungkin sekarang pun belum diciptakan. Karena itulah, memberikan pembekalan kepada mereka agar memiliki kesadaran dan literasi berjejaring di dunia digital merupakan keharusan yang tak bisa ditunda-tunda lagi.