SEMARANG, KOMPAS—Badan Pengawas Obat dan Makanan melaksanakan patroli siber secara intensif untuk menekan peredaran obat ilegal. Hal itu dilakukan untuk merespons perubahan modus penjualan dan distribusi obat ilegal.
Deputi Bidang Penindakan BPOM Hendri Siswadi, seusai jumpa pers temuan tempat penyimpanan obat ilegal di Kota Semarang, Rabu (30/5/2018), menyatakan, modus peredaran obat ilegal berubah. Semula obat dijual dan diantar langsung. Namun, kini pemasaran dilakukan secara daring dan lewat media sosial, lalu obat dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman.
Kondisi itu mempersulit penelusuran penjual obat. ” Selalu ada permintaan untuk obat-obat terkait kecantikan. Ada orang ingin kulitnya lebih putih atau wajahnya lebih cantik dengan obat tertentu. Karena itu, tim siber kami berpatroli melihat obat-obat yang diedarkan daring, apakah memiliki nomor izin edar atau belum,” kata Hendri.
Tim siber kami berpatroli melihat obat-obat yang diedarkan daring, apakah memiliki nomor izin edar atau belum.
Beberapa hari lalu, BPOM mengungkap peredaran obat ilegal secara daring dan melalui media sosial. Awalnya Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Pekanbaru mendapat laporan ada penjualan obat ilegal, yakni sediaan injeksi melalui daring dari Semarang.
Setelah sebulan menelusuri, BBPOM di Semarang bersama Badan Narkotika Nasional Provinsi Jawa Tengah, Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan Satuan Polisi Pamong Praja Jateng menemukan gudang obat di Jalan Soekarno Hatta, Semarang.
Di lokasi gudang itu ditemukan 146 jenis obat sebanyak 127.900 buah dengan nilai keekonomian sekitar Rp 3,5 miliar. Obat itu, antara lain kolagen, tretinoin, obat pelangsing, sibutramine HCl, vitamin C injeksi, dan produk perawatan kulit lain. Sebagian obat itu berupa sediaan injeksi dan dijual ke masyarakat serta tenaga kesehatan.
Kandungan substandar
Kepala BPOM Penny K Lukito mengatakan, sibutramine digunakan untuk mengontrol berat badan dan antioksidan dipakai untuk melindungi kulit. Penggunaannya harus dengan petunjuk dokter. Dilihat dari kemasannya, obat itu diimpor dan tak punya izin edar sehingga kandungannya belum diketahui pasti. Ada kemungkinan kandungannya substandar dan palsu.
Satu orang berinisial UA ditetapkan sebagai tersangka. Pelaku dijerat Pasal 196 dan 197 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar. ”Pelaku menjadikan gudang ini sebagai tempat penyimpanan, pengemasan, dan pengiriman barang. Tempat ini disamarkan dengan tempat jasa pengiriman barang,” kata Penny.
Penny menegaskan, BPOM akan mengungkap siapa pelaku utama usaha obat ilegal tersebut. Pihak BPOM akan bekerja sama dengan penegak hukum untuk memastikan pelaku kejahatan ini mendapatkan hukuman maksimal.
Hendri menambahkan, temuan gudang obat ilegal ini termasuk yang besar nilainya. Selama ini BPOM telah menemukan praktik distribusi obat dan kosmetik ilegal di daerah lain tapi umumnya tak sebesar di Semarang. Kasus di Semarang ini akan ditelusuri. Selain itu, proses penelusurannya terbilang cepat, yakni sebulan. Biasanya penelusuran memakan waktu 3-4 bulan.
Wakil Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit Kelamin Indonesia (Perdoski) Cabang Semarang, Buwono, mengatakan, Perdoski selalu menekankan kepada anggotanya untuk memberikan obat yang berbasis bukti (evidence base) dan teregistrasi di BPOM.
Dari sekian banyak obat ilegal yang ditemukan di Semarang, misalnya vitamin C, berfungsi membantu mencerahkan kulit. Namun, produk yang dipakai tetap harus berbasis bukti dan teregistrasi. Selain itu harus sesuai petunjuk tenaga kesehatan yang kompeten. Terlebih jika obat dalam sediaan injeksi maka konsumen tidak boleh menyuntikkannya sendiri. “Setahu saya untuk pencerah injeksi belum ada yang teregistrasi BPOM,” tambah Buwono.
Risiko yang mungkin dihadapi dari konsumsi obat terkait kesehatan kulit yang tidak aman adalah alergi pada kulit mulai dari tingkat yang ringan hanya di lokasi penggunaan obat hingga parah seperti merah atau ruam di seluruh badan kadang disertai nyeri dan panas.