Perempuan Pekerja Rumahan Tak Mendapatkan Hak Layak
Oleh
Sonya Helen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski berperan besar dalam menopang proses produksi sejumlah industri dalam negeri, hingga kini perempuan pekerja rumahan tidak dianggap sebagai pekerja. Padahal, faktanya, setiap hari mereka bekerja dan memproduksi produk-produk yang dijual sejumlah perusahaan, termasuk produk dengan merek terkenal.
Selain dibayar dengan upah rendah yang jauh di bawah upah minimum kabupaten/provinsi, perempuan pekerja rumahan tidak memiliki status hubungan yang pasti, kondisi kerja yang buruk, waktu kerja yang tidak jelas, bahkan tidak mendapat jaminan sosial, baik perlindungan ketenagakerjaan maupun perlindungan kesehatan.
Hal ini terungkap dalam diskusi Brown Bag Lunch (BBL) dengan tema ”Tantangan Kerja Layak bagi Perempuan Pekerja Rumahan” yang digelar MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan), Kamis (31/5/2018) di Jakarta.
Peneliti dari The SMERU Research Institute, Ana Rosidha Tamys, mengungkapkan, dari penelitian SMERU tahun 2017 di Deli Serdang (Sumatera Utara), Kubu Raya (Kalimatan Barat), Cilacap (Jawa Tengah), Pangkajene dan Kepulauan (Sulawesi Selatan), serta Timor Tengah Selatan (Nusa Tenggara Timur), diperoleh sejumlah kondisi yang memprihatinkan yang dialami perempuan pekerja rumahan.
Hasil survei dari 1.244 perempuan pekerja perempuan yang menjadi responden, ada 204 perempuan pekerja rumahan. Sebanyak 50 persen di antaranya berusia 40-49 tahun, 50 persen di antaranya pendidikannya tidak lulus sekolah dasar, dan 50 persennya adalah perempuan kepala keluarga.
”Mereka mendapat upah yang rendah, di bawah standar upah minimum kabupaten/kota setempat, bekerja 7 hari dengan waktu yang tidak pasti. Di Cilacap, perempuan pekerja rumahan menjahit daster hanya dibayar Rp 1.200 per potong. Satu hari ditarget menjahit 20 daster. Di Deli Serdang, mereka memotong tali sandal 1 karung 10 kilogram hanya dibayar Rp 6.500 per karung,” ujar Ana.
Kondisi kerja perempuan pekerja rumahan di wilayah Tangerang, Banten, juga disampaikan Melani (28) dan Inem (47). Selama lebih dari 3 tahun, mereka memproduksi paper bag (tas kertas) dari sejumlah perusahaan. Pekerjaan mereka menyambung potongan kertas dan memberi tali hingga menjadi tas kertas. Satu orang bisa mengerjakan 200-300 paper bag. Untuk satu paper bag, mereka mendapatkan upah Rp 300. ”Kalau kerjakan 300 paper bag, berarti dapat 9.000 per hari, tetapi pembayarannya dua minggu sekali,” ujar Inem.
Untuk pekerjaan tersebut, Inem dan perempuan pekerja yang semuanya berjumlah 10 orang tersebut dituntut bekerja rapi dan ditarget harus selesai setiap hari. Jika terlambat, mereka akan dimarahi pihak yang menyerahkan pekerjaan tersebut. Kecuali upah, mereka tidak mendapatkan tambahan upah, apalagi tunjangan hari raya.
Yasinta, Koordinator Program untuk Divisi Buruh Manufaktur Trade Union Rights Centre (TURC), mengungkapkan, sesuai dengan Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, semua pekerja berhak mendapatkan iklim kerja yang layak untuk pemenuhan hidup yang layak.
Faktanya, selama ini perempuan pekerja rumahan tidak diakui sebagai pekerja. Selain sewaktu-waktu bisa diputus hubungan kerja, mereka bekerja dengan jam kerja yang tidak menentu, bahkan ketika ada pesanan yang banyak, seperti pada saat menjelang hari raya, perempuan pekerja bisa bekerja lembur sampai tengah malam. Tidak ada tunjangan hari raya dan tunjangan lainnya.
Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan para perempuan pekerja, Amron Hamdi, Communication and Knowledge Management Manager MAMPU, mengungkapkan, sejak beberapa tahun terakhir, MAMPU bersama TURC dan sejumlah lembaga mitra melakukan pendampingan kepada komunitas perempuan pekerja rumahan. Program tersebut diharapkan memberikan pemahaman kepada perempuan pekerja rumahan tentang sistem tenaga kerja serta bagaimana belajar menegosiasikan kontrak kerja dengan pihak yang mempekerjakan mereka.