Pemerintah Prioritaskan Perlindungan Pekerja Migran
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menempatkan mekanisme perlindungan pekerja migran Indonesia sebagai agenda prioritas sebelum memberlakukan kembali pengiriman ke negara-negara di kawasan Timur Tengah. Pemerintah berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam mengirim pekerja migran seperti di masa lalu.
Sebelumnya, pemerintah melarang pemberangkatan pekerja migran ke negara kawasan Timur Tengah berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan TKI pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.
Larangan diberikan akibat banyaknya permasalahan yang menimpa pekerja migran dan lemahnya jaminan perlindungan di negara kawasan itu.
Terdapat 19 negara yang masuk dalam daftar pelarangan. Negara-negara itu adalah Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Palestina, Qatar, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Jordania.
Sekretaris Utama Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Tatang Budie Utama Razak saat dihubungi di Jakarta, Minggu (3/6/2018), mengatakan, mekanisme pengiriman pekerja migran ke kawasan Timur Tengah kali ini akan dipastikan memiliki format sesuai dengan ketentuan negara.
Mekanisme itu termasuk dengan jaminan perlindungan peran dan deskripsi tugas yang dimiliki calon pekerja. Indonesia juga akan membuat perjanjian tertulis dengan negara tujuan pengiriman terkait hal tersebut. ”Saya pastikan tidak akan seperti dulu,” kata Tatang.
Indonesia akan membuat perjanjian tertulis dengan negara tujuan pengiriman terkait hal tersebut.
Negara tujuan penerima juga dipastikan akan memiliki konsep yang sama terkait mekanisme perlindungan pekerja migran dengan Indonesia.
Dulu, ujar Tatang, negara ingin melindungi pekerja yang terkena kasus. Namun, negara kerap tidak mampu mengintervensi karena hukum perlindungan yang berlaku berdasarkan kedaulatan hukum negara penempatan.
Negara di kawasan Timur Tengah banyak yang menerapkan sistem kafalah. Sistem kafalah adalah sistem dengan majikan menempatkan pekerja sebagai bagian dari properti yang tidak bisa lagi diganggu gugat.
Ketika seorang pekerja migran tertimpa suatu kasus kekerasan, misalnya, aparat penegak hukum setempat tidak dapat masuk memeriksa. Aparat hukum justru dapat dinyatakan melanggar hukum karena mengintervensi masalah rumah tangga.
Tatang melanjutkan, pengiriman pekerja migran kali ini akan difokuskan pada suatu jenis profesi tertentu dengan deskripsi tugas yang jelas. Contohnya adalah pengasuh, pengurus rumah, dan koki.
Jadi bukan profesi umum seperti pembantu rumah tangga (PRT). Pengiriman PRT membuat mekanisme perlindungan sulit dilakukan dan menurunkan martabat bangsa.
”Pengiriman tenaga kerja yang pertama akan ke Arab Saudi menggunakan model mekanisme yang baru. Arab Saudi akan menjadi pilot project pengiriman tenaga kerja ke kawasan Timur Tengah,” ujar Tatang.
Arab Saudi akan menjadi pilot project pengiriman tenaga kerja ke kawasan Timur Tengah.
Pada 26 Juni 2018, Kementerian Ketenagakerjaan sebagai regulator, BNP2TKI sebagai operator, dan Kementerian Luar Negeri sebagai perwakilan negara di luar negeri akan bertemu untuk membahas mekanisme pengiriman yang lebih jauh.
Pertemuan ketiga kementerian dan instansi itu akan membahas mekanisme perlindungan, pelatihan pekerja, substansi kontrak, kuota pengiriman, periode pengawasan pekerja, dan evaluasi mekanisme. Tatang mengakui, belum mengetahui pasti kapan pengiriman akan mulai dilaksanakan.
Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM), Savitri Wisnuwardhani, menambahkan, selain pengawasan ketenagakerjaan (labor inspection) yang ditingkatkan, pemerintah juga perlu mengoptimalkan mekanisme penangangan kasus bagi pekerja migran yang melapor ke kedutaan dan konsulat negara setempat.
Sambut baik
Savitri menyambut baik wacana pengiriman pekerja migran ke kawasan Timur Tengah. Saat ini, jumlah pengangguran Indonesia dengan level pendidikan rendah masih banyak tersebar di sejumlah wilayah. ”Kami lihat wacana itu akan dilaksanakan dengan baik,” ujarnya.
Savitri menekankan, perlindungan harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Dalam Pasal 31, terdapat tiga syarat yang harus dimiliki negara tujuan penempatan.
Negara tersebut harus memiliki peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing, sistem jaminan sosial dan/atau asuransi yang melindungi pekerja asing, serta perjanjian tertulis antara pemerintah Indonesia dan negara tujuan penempatan.
Menurut Savitri, ketiga syarat tersebut harus dipenuhi. Selain itu, pemerintah perlu menyertakan masyarakat ketika membahas penempatan dan perlindungan pekerja migran karena telah diatur dalam UU.
Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi sebelumnya dalam Rapat Kerja Komisi I DPR pada 31 Mei 2018 juga menyebutkan, selama ini kasus yang menimpa pekerja migran berawal dari perekrutan pekerja yang tidak sesuai prosedur sehingga membuat mereka rentan lolos dari pengawasan dan perlindungan.
”Statistik membuktikan problem warga negara dan tenaga kerja Indonesia ada di hulu. Selama di hulu belum selesai, masalah di hilir akan tetap banyak,” kata Retno.
Selama ini kasus yang menimpa pekerja migran berawal dari perekrutan pekerja yang tidak sesuai prosedur sehingga membuat mereka rentan lolos dari pengawasan dan perlindungan.