Ancaman ”Kuda Troya” dari Skandinavia
Timnas Swedia datang ke Rusia tidak untuk menjadi penggembira. Mereka berniat melanjutkan kejutannya di Piala Dunia 2018, serupa saat menyingkirkan Italia di fase ”play off”. Mental baja dan solidaritas tinggi menjadi ”senjata rahasia” mereka.
Swedia sempat dikira akan hilang dari kancah sepak bola sejagat kala sang megabintang Zlatan Ibrahimovic memutuskan pensiun, Juni 2016. Bayang-bayang kekhawatiran absen pada Piala Dunia, seperti yang rutin terjadi sejak 2010, kembali menghantui.
Ketakutan itu muncul karena mereka harus menghadapi juara dunia empat kali, Italia, di play off kualifikasi Piala Dunia Rusia. Namun, Swedia menepis keraguan dan mengejutkan dunia dengan menyingkirkan Italia di play off.
Salah besar jika ada orang yang menilai Swedia beruntung mampu mengandaskan Italia dan lolos ke Rusia. Tim asal Skandinavia itu bisa dikatakan tim yang paling teruji di Piala Dunia 2018 karena menempuh medan sangat terjal dalam perjalanan menuju Rusia.
Pada babak kualifikasi, mereka ditempatkan di grup neraka bersama Perancis dan Belanda, dua tim kaya sejarah dan prestasi di Piala Dunia. Lagi-lagi, ”Blagult”, julukan timnas Swedia, dilihat sebelah mata. Tanpa Ibrahimovic, pemilik rekor gol terbanyak Swedia dengan koleksi 62 gol, mereka dianggap tak bertaring.
Namun, seperti mitologi kuda Troya dari Yunani, Swedia mengelabui lawan-lawannya. Tanpa Ibrahimovic, Blagult tidaklah sejinak yang dikira. Perancis, salah satu favorit juara di Rusia, paham betul ancaman senyap Swedia.
Pada pertemuan kedua tim pada kualifikasi Piala Dunia 2018 zona Eropa, Juni 2017 lalu, ”Les Bleus” sempat mengira bakal menang mudah. Mereka datang ke Arena Friends di Solna dengan gagah dan sangat percaya diri, bermodal empat kemenangan beruntun pada laga-laga sebelumnya, termasuk atas Belanda.
Barisan pemain bintang mereka, seperti Paul Pogba, Antoine Griezmann dan Kylian Mbappe-Lottin, tentu bukan tandingan Swedia yang tidak lagi memiliki pemain berkelas dunia sepeninggal Ibrahimovic. Les Bleus pun gencar menyerang yang berujung gol striker jangkung, Oliver Giroud, jelang turun minum.
Perancis kian bernafsu, bahkan membabi buta, mengejar gol lainnya. Mereka lebih dominan dan menguasai bola. Padahal, saat itu mereka sebetulnya masuk perangkap Swedia yang menyiapkan taktik kuda troyanya.
Swedia membiarkan Perancis asyik menyerang. Namun, di saat lengah dan kehilangan bola, Blagult melancarkan serangan balik dan kilat yang berujung dua gol balasan oleh Jimmy Durmaz dan Ola Toivonen. Saat itu, kiper Perancis, Hugo Lloris, ”dipaksa” lawan untuk melakukan blunder.
Perancis tersungkur, kalah 1-2 dari Swedia. Itu menjadi kekalahan pertama Les Bleus di kualifikasi Piala Dunia dalam kurun empat tahun. ”Jelas, Swedia bukan lawan yang dapat disepelekan. Mereka tampil sangat terorganisasi,” ujar Pelatih Perancis Didier Deschamps, saat itu.
Tim ”Oranye” juga pernah dibuat gigit jari oleh Swedia minus Ibrahimovic. Sempat meraih tiga kemenangan beruntun, Belanda ditahan Swedia, 1-1, di Solna. Hasil imbang pada September 2016 itu membuat Oranye gagal bersaing dengan Perancis dan Swedia di babak kualifikasi. Mereka pun harus absen pada Piala Dunia Rusia, senasib dengan Italia.
Pusat gravitasi
Seperti dikatakan Deschamps di Solna, Swedia tidak melemah sepeninggalan Ibrahimovic. Mereka justru lebih kuat dan sulit ditebak. Swedia bukan lagi tim ”one man show”, seperti yang terjadi pada Piala Eropa Perancis tahun 2016 lalu.
Ketika itu, Ibrahimovic masih menjadi pusat ”gravitasi” alias semua aliran bola atau permainan Swedia. Tak heran, serangan mereka mudah terbaca dan ditangkal lawan-lawannya. Swedia menjadi juru kunci pada penyisihan Grup E dan hanya bisa mencetak satu gol, yang ironisnya tercipta berkat bunuh diri pemain lawan, yaitu Irlandia.
Ketiadaan Ibrahimovic justru memantik kebersamaan mereka. Setiap pemain tim itu sama-sama merasa penting, tanpa ada perbedaan. Itu mendorong tingginya rasa solidaritas mereka. Karakter itu sangat terlihat, khususnya pada laga play off kontra Italia.
Dalam duel kandang-tandang itu, hampir semua pemain Swedia, termasuk barisan gelandang serang, seperti Emil Forsberg, rela berkorban dengan ikut mundur membantu pertahanan saat timnya digempur habis-habisan oleh ”Gli Azzurri”. Hasilnya, gawang Swedia tidak sekali pun dibobol Italia pada kedua laga itu. Mereka mampu bertahan dengan hanya bermodal keunggulan satu gol.
Seperti pada kualifikasi, jalan terjal kembali menghadang Swedia pada putaran final Piala Dunia 2018 di Rusia. Mereka tergabung di grup sengit, yaitu F, bersama juara bertahan Jerman, Meksiko, dan ”kuda hitam” Korea Selatan.
Pelatih Swedia Janne Andersson pun tampaknya bakal mereplikasi taktik di fase play off saat bersua Jerman dan Meksiko yang memiliki naluri menyerang tinggi. Jadi, bersiap-siaplah melihat permainan bertahan yang menjemukan dari Swedia.
Tidak ada larangan untuk tim tampil ekstra defensif dan mengandalkan serangan balik. Pada turnamen seperti Piala Dunia, hasil akhir adalah segalanya. Itu sangat dipahami Swedia, tim yang tidak banyak dikarunai talenta-talenta hebat sepak bola seperti Inggris atau Perancis.
Swedia selama ini dikenal dengan karakter permainan yang lugas dan terorganisasi dengan bertumpu pada kekuatan fisik. Pendekatan itu sangat berhasil untuk mereka. Sebagai tim
yang tidak rutin tampil di Piala Dunia, prestasi mereka terbilang istimewa.
Mereka selalu menembus minimal babak 16 besar sejak Piala Dunia Amerika Serikat tahun 1994. Saat itu, mereka bahkan sempat mengejutkan dunia dengan menembus semifinal. Langkah Swedia hanya bisa dihentikan Brasil, tim yang saat itu jadi kampiun dengan mengalahkan Italia lewat adu penalti di final.
Skuad Blagult saat ini tidaklah sementereng tim ketika itu yang diperkuat trio penyerang Henrik Larsson, Tomas Brolin, dan Martin Dahlin. Tim pada 2018 ini juga bukan favorit juara seperti pendahulu mereka pada 1958, yaitu saat dikalahkan Brasil dan legenda hidupnya, Pele, di final.
Namun, Emil Forsberg dan rekan-rekannya jelas tidak bisa disepelekan. Mereka paling tidak bisa menjadi ancaman bagi Meksiko, tim yang sangat konsisten dan langganan babak 16 besar di enam edisi Piala Dunia terakhir.
Roland Nilsson, eks bek Swedia yang jadi anggota tim di Piala Dunia AS, meyakini, para yuniornya saat ini berpeluang menciptakan kejutan di Rusia. Ia melihat adanya kesamaan etos kerja dari timnya dulu dengan skuad saat ini.
”Saya kira, tim saat ini bagus. Mereka adalah sekelompok pekerja keras yang dengan brilian menyingkirkan Italia di play off. Akan sulit menyamai apa yang kami capai di 1994. Kami semua sadar dengan itu. Namun, apabila mereka bisa menemukan ramuan yang tepat plus sedikit keberuntungan dan start bagus, saya kira mereka bakal melesat (di Rusia),” tutur Nilsson, seperti dikutip FIFA.