JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah didorong menghidupkan kembali koordinasi dalam penegakan hukum lingkungan. Langkah ini mendesak karena berbagai kasus yang mengiringi perkara lingkungan bermunculan menjadi preseden buruk.
Beberapa contohnya, keganjilan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh di Aceh atas kebakaran hutan dan lahan di lahan PT Kallista Alam. Putusan ini menganulir putusan Mahkamah Agung.
Contoh lain, gugatan perdata kepada Basuki Wasis (akademisi Institut Pertanian Bogor) saat dihadirkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi saksi ahli atas kasus Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara.
Basuki menyebut izin usaha pertambangan nikel yang diterbitkan oleh Nur Alam bagi PT Anugrah Harisma Barakah di Pulau Kabaena ilegal. Hal itu menimbulkan kerusakan lingkungan dan kerugian negara Rp 2,7 triliun (Kompas, 13 April 2018).
”Kondisi saat ini terkesan gagap terkait kasus-kasus lingkungan. Kalau melawan mafia tidak bisa sendiri-sendiri, harus bersatu,” kata Basuki Wasis, Senin (4/6/2018) di Jakarta, saat hadir dalam ”Dialog Publik Quo Vadis Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia” yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
Kegiatan itu menghadirkan pembicara La Ode Syarif (komisioner KPK), Sukma Violetta (Wakil Ketua Komisi Yudisial), dan Rasio Ridho Sani (Dirjen Penegakan Hukum KLHK).
Basuki mengatakan, koordinasi penegakan hukum lingkungan bisa meniru contoh baik yang pernah dilakukan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat itu, Unit Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Percepatan Pembangunan rutin mengumpulkan eselon satu kementerian dan Kepala Bareskrim Polri untuk membicarakan kasus-kasus lingkungan hidup.
”Dengan begitu, Istana dan Presiden cepat menangkap dan mengambil tindakan atas kasus-kasus lingkungan yang juga berubah cepat,” katanya yang berulang kali diundang dalam pertemuan di UKP4 tersebut.
Menanggapi hal ini, seusai kegiatan, Rasio Ridho Sani mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang mempersiapkan strategi pelibatan penyidik kementerian lain dalam penegakan hukum kasus-kasus terkait lingkungan hidup. Langkah ini diharapkan memberikan efek jera karena menuntut tanggung jawab maksimal bagi pelaku pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Terkait koordinatornya, ia mengatakan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan KLHK. Hal ini tertuang dalam Pasal 95 yang telah dianulir Mahkamah Konstitusi.
Intinya, tindak pidana lingkungan hidup tidak berdiri sendiri dan tunggal, tetapi terdapat pelanggaran yang bersifat administratif, perdata ataupun pidana, sehingga harus dikoordinasikan di bawah Menteri Lingkungan Hidup sesuai ketetapan dalam undang-undang tersebut.
Terkait format kerja sama antarpenyidik ini, ia mengatakan lebih pada koordinasi untuk penanganan kasus per kasus di lapangan. ”Kami ingin optimalkan kewenangan kementerian terkait. Juga sumber daya penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) mereka akan memperbesar cakupan hukum terkait lingkungan hidup,” katanya.
Beberapa isu yang telah mengerucut ialah kerusakan lingkungan hidup terkait tambang, pesisir, dan tata ruang. ”Saya sudah bertemu dan membicarakan dengan dirjen-dirjen. Nanti penyidik kami bertemu untuk memilih kasus yang akan ditangani,” katanya.
Bila PPNS kementerian lain mulai mengambil peran, KLHK akan sangat dibantu karena tantangan keterbatasan jumlah penyidik. Dicontohkan kasus kerusakan mangrove dan terumbu karang yang selama ini ditangani KLHK bisa ditangani PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Muhnur Satyahaprabu, praktisi hukum lingkungan, mengatakan, kelemahan penegakan hukum lingkungan di Indonesia ada pada kemampuan penyidik dan penuntut menarasikan kerugian lingkungan sebagai kerugian negara. ”Saya melihat hal ini lemah sekali untuk membantu hakim memahami persoalan lingkungan,” katanya.
Senada dengan hal ini, Bambang Hero Saharjo, pakar kebakaran hutan dan lahan IPB, mendorong penegakan hukum lingkungan dilakukan dengan penguatan kapasitas aparat dari hulu ke hilir.
Jika selama ini peningkatan kapasitas banyak menyasar pada sertifikasi hakim lingkungan, ke depan ia berharap penyidik dan jaksa juga mendapatkan peningkatan kapasitas.