Sikap apatis warga Kota Bekasi terhadap Pilkada menguat. Ketidakpercayaan atas kinerja pemerintah dan gagasan kontestan menjadi alasannya. Perlu sinergi bersama untuk mengajak semua pemilih.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS - Berdasarkan data saat dua pilkada terdahulu, jumlah pemilih di Kota Bekasi cenderung menurun. Sikap apatis warga mesti diantisipasi untuk mendongkrak keikutsertaan warga dalam pemungutan suara 27 Juni mendatang.
Dari catatan Kompas, persentase pemilih dalam Pilkada Kota Bekasi terus menurun dalam dua periode terakhir. Pada 2008, pemilih mencapai 62,4 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 1.168.875 jiwa. Partisipasi pemilih pada Pilkada 2013 turun menjadi 48,81 persen dari total DPT 1.578.037 jiwa.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, saat dihubungi Jumat (1/6/2018), mengatakan, partisipasi pemilih yang rendah menunjukkan tingkat apatisme warga yang tinggi. Warga cenderung tidak memiliki kedekatan emosional dengan kota dan pemerintahannya. Sebab, sebagian dari mereka justru lebih banyak berkegiatan di Jakarta.
Dalam Statistik Komuter Jabodetabek yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014, tercatat 19,8 persen atau 460.069 orang komuter dari total 2,3 juta warga berusia 5 tahun ke atas di Kota Bekasi. Sejumlah 285.791 komuter Kota Bekasi bekerja di Jakarta, dan 73.740 orang bersekolah di Jakarta.
Salah satu dari komuter, Lidzikri Audie Sayna (23), mengaku lebih memerhatikan laju pembangunan dan pemerintahan di Jakarta ketimbang Kota Bekasi.
Menurut dia, perkembangan di Ibu Kota lebih berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sehari-harinya. “Setiap hari, saya pulang ke Bekasi hanya untuk istirahat setelah bekerja,” ujar Lidzikri yang baru enam bulan bekerja di Ibu Kota.
Ia pun acuh tak acuh terhadap perkembangan Kota Bekasi, termasuk proses Pilkada. Bagi Lidzikri, pasangan calon dalam Pilkada 2018 tak memberikan tawaran baru dari pemerintahan sebelumnya. Para kontestan dinilai belum mampu menyesuaikan kebutuhan warga, khususnya generasi milenial.
Lidzikri yang sudah 18 tahun menjadi warga Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara, merasa tidak puas dengan pembangunan kota. Selama ini, pembangunan belum merata. “Pembangunan di Kota Bekasi hanya dilakukan di sekitar kantor pemerintah kota (Pemkot), tetapi tidak sampai di pelosok.”
Perhatian lebih terhadap dinamika politik di Ibu Kota juga diberikan oleh Sulistyo Pratomo Sidik (22), mahasiswa Universitas Islam 45 Bekasi. Meski selalu berkegiatan di Kota Bekasi, Sulistyo menilai, dinamika politik di Jakarta lebih menarik diikuti. Saat pilkada Jakarta lalu, kontestan menunjukkan kesungguhan untuk meraih suara masyarakat dengan menunjukkan beragam program dan strategi.
Sementara di Kota Bekasi, tidak terjadi adu gagasan yang signifikan di antara para paslon. “Kedua paslon justru menawarkan program yang sama, yaitu kartu sehat dan kartu pintar. Menurut saya, dengan kesamaan itu, akan sulit merebut hati pemilih,” kata Sulistyo.
Kesamaan program itu dinilai Sulistyo, belum memberikan harapan baru.
Ketidakpercayaan terhadap Pilkada juga dirasakan Oki Yafie Firdaus (25), warga Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawalumbu. Oki mengatakan, sumber ketidakpercayaan berasal partai politik pengusung para paslon. Rekam jejak partai politik baik di lingkup kota, provinsi, maupun nasional, menjadikan kecenderungan kontestan yang diusung pun mudah ditebak.
Akibatnya, ia tidak pernah menghiraukan setiap sosialisasi, baik dari penyelenggara Pilkada maupun paslon. Oki lebih memilih untuk bersikap apatis.
Menurut Titi Anggraini, ketidakpedulian warga berpotensi menjadikan penyelenggaraan Pilkada tidak jujur dan tidak adil. Minimnya perhatian warga memberi kesempatan kepada pasangan calon untuk berbuat curang, salah satunya dengan mempolitisasi birokrasi. Hal ini pernah terjadi saat Pilkada Tangerang Selatan 2010.
Ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) rupanya terjadi pula di Kota Bekasi. Berdasarkan surat Komisi Aparatur Sipil Negara Nomor B-900/KASN/4/2018 tanggal 24 April 2018, Sekretaris Daerah Kota Bekasi Rayendra Sukarmadji dinyatakan melanggar kode etik. Rayendra terbukti telah berpidato mendukung salah satu kontestan.
Pendidikan politik
Sementara, untuk meningkatkan partisipasi pemilih, KPU Kota Bekasi berkomitmen meningkatkan sosialisasi. Komisioner KPU Kota Bekasi Nurul Sumarheni mengatakan, sosialisasi dilakukan dengan pendekatan berbasis keluarga. Sasarannya adalah seluruh elemen masyarakat dari lingkup kota, kecamatan, kelurahan, RT, RW, Posyandu, hingga Karang Taruna.
Menjelang hari pemungutan suara 27 Juni, informasi Pilkada juga akan disebarkan melalui media massa dan media sosial. Nurul optimistis, momen Pilkada yang dilaksanakan secara serentak secara nasional akan meningkatkan partisipasi pemilih.
“Kami menargetkan angka partisipasi pemilih di Kota Bekasi mencapai 75 persen,” ujar dia.
Selain penyelenggara, kontestan juga berupaya meningkatkan partisipasi publik.
Sholihin, Ketua Tim Pemenangan Paslon Nomor Urut 1 pasangan Rahmat Effendi-Tri Adhianto Tjahyono, fokus pada generasi milenial lantaran generasi ini cenderung apatis dan belum memutuskan untuk menggunakan hak pilihnya atau tidak. Oleh karena itu, pihaknya lebih sering memberikan pendidikan politik kepada komunitas-komunitas anak muda.
Ibnu Hajar Tanjung, Ketua Tim Pemenangan Paslon Nomor Urut 2 atau pasangan Nur Supriyanto-Adhy Firdaus Saady, mengatakan, upaya menjaring suara masyarakat dilakukan dengan membawa kader partai politik pengusung yang dianggap berprestasi untuk ikut berkampanye. Salah satu fokus kampanye adalah wilayah permukiman kelas atas.
Beragam strategi untuk meningkatkan partisipasi publik menjadi pekerjaan rumah yang perlu segera diselesaikan dalam sisa waktu sekitar 3 pekan ini, baik oleh penyelenggara maupun peserta Pilkada. Seluruh masyarakat memiliki hak untuk berkontribusi menentukan pemimpin kotanya. Jangan sampai, nasib Kota Bekasi lima tahun mendatang hanya ditentukan oleh sebagian kecil pemilih.