Wajah Selaru Kian Berseri
Warga Pulau Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku, sempat hilang harapan. Hal itu lantaran ”kue pembangunan” tak kunjung tiba.
Namun, dalam tiga tahun terakhir, wajah pulau di perbatasan RI-Australia itu berubah drastis. Warga pun kini berseri.
Saat Kompas mendatangi Selaru pada Agustus 2015, jalan aspal hanya ada di Desa Adaut, ibu kota Kecamatan Selaru. Itu pun panjangnya kurang dari 300 meter. Jalan tersebut menghubungkan pintu pelabuhan dengan kantor camat, rumah camat, puskesmas, dan pos TNI setempat. Kondisi aspal ala kadarnya, terkelupas di sana-sini, dan menyisakan kerikil tajam.
Hampir tiga tahun kemudian, Mei 2018, wajah Selaru berubah. Jalanan aspal mulus membentang dari ujung Pelabuhan Adaut hingga melewati Desa Kandar sejauh 16 kilometer (km).
Selain itu, jalanan hingga Desa Eliasa di ujung barat pulau itu telah siap dibangun. Sebagian besar sedang dalam proses pemadatan menanti pengaspalan.
Panjang jalan penghubung semua desa di pulau seluas 353,6 km persegi itu 76 km. Di Selaru terdapat tujuh desa,
yakni Adaut, Kandar, Namtabung, Lingat, Werain, Fursuy, dan Eliasa. Adaut berada di ujung timur, sedangkan Eliasa di ujung barat pulau.
Sebelumnya, jalur penghubung antardesa berupa jalan setapak tanah atau beton hasil swadaya masyarakat.
Kondisi jalanan yang buruk itu kadang memaksa warga menggunakan jalur laut, seperti yang dialami Evilina Amarduan (28), warga Desa Eliasa. Pada 2014, Evilina yang mengalami kesulitan melahirkan terpaksa diangkut menggunakan perahu motor ke Puskesmas Adaut dengan waktu tempuh lebih dari empat jam. Bahan bakar
sempat habis di tengah laut. Akibatnya, bayi Evilina pun tak tertolong.
Jika memilih jalan darat, menggunakan sepeda motor, waktu tempuh akan lebih lama lagi.
Pesat
Setelah jalan dibuka, kini waktu tempuh Adaut-Eliasa kurang dari dua jam. Tarif sewa ojek yang dulu hingga Rp 250.000 per orang, kini berkurang separuhnya. Banyak warga membeli mobil bak terbuka untuk dijadikan angkutan umum dengan harga sewa per orang tak lebih dari Rp 50.000. Kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, juga terus bertambah.
Di sepanjang sisi jalan dari Adaut hingga Eliasa juga telah berdiri tiang-tiang listrik. Sejak Maret lalu, ketujuh desa itu telah menikmati layanan listrik PLN 24 jam per hari. Anak-anak yang dulu belajar dengan penerangan lampu minyak dan waktu belajar dibatasi lantaran minimnya minyak tanah, kini dapat menikmati cahaya listrik sesuka hati.
Jalur jaringan listrik antardesa di Selaru sebenarnya sudah terbangun lama, tetapi tak ada tindak lanjut. Tiang yang terbuat dari besi itu keropos, patah, dan sebagian tumbang. Dalam tiga tahun ini, jaringan tiang listrik dibangun ulang.
”Kami tidak pernah menyangka bisa secepat ini. Kami bersyukur sekali,” ujar Rejon M Oratmangun (23), pemuda Desa Lingat.
Dengan penerangan listrik, ibu Rejon, Yosina Sambonu (40), bisa menenun pada malam hari. Hasil tenun langsung diantar ke Saumlaki, ibu kota kabupaten, melalui Adaut. Selaru merupakan sentra kerajinan tenun Tanimbar.
Tenun Tanimbar kini mendunia dan berulang kali dipamerkan dalam sejumlah acara budaya-busana tingkat dunia.
Lewat Australia
Frets Salakan (38), tokoh masyarakat Desa Eliasa, menuturkan, warga sempat hilang harapan melihat pembangunan di Pulau Jawa dan wilayah bagian barat Indonesia lain yang begitu pesat, sementara di bagian timur Indonesia minim. Pembangunan setelah tujuh dasawarsa kemerdekaan, tepatnya pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, membangkitkan kembali harapan itu.
Akses dari Ambon ke Eliasa kini lebih mudah. Dari Ambon, penerbangan dengan pesawat ATR 72 ditempuh sekitar 1,5 jam ke Saumlaki, kemudian menyeberang dengan perahu cepat ke Adaut sekitar 1 jam, lalu menggunakan sepeda motor ke Eliasa sekitar 1,5 jam. Jika jalan Trans-Selaru rampung, waktu tempuh Adaut ke Eliasa sekitar 45 menit saja. Jauh lebih cepat daripada sebelumnya, saat warga harus bermalam di Saumlaki atau Adaut.
Perjalanan panjang dan melelahkan itu yang dulu membuat banyak warga Eliasa menempuh ”jalur pintas” jika ingin ke Jakarta. Bermodalkan perahu layar seadanya, mereka sengaja berlayar mendekati wilayah perbatasan hingga masuk ke wilayah Australia. Selaru dan daratan Australia hanya terpaut jarak sekitar 337 km.
Mereka lalu sengaja mematahkan tiang layar sehingga seolah perahu baru saja diterjang badai dan kehilangan arah. Itu menjadi alasan ketika ditangkap Angkatan Laut Australia. Penangkapan merupakan awal yang baik. Sebelum dideportasi, mereka dibawa ke Kedutaan Besar RI dan diberi uang saku, kemudian dipulangkan lewat Jakarta. Di Jakarta, mereka bisa bertemu keluarga atau kerabat. Modus itu dipakai hingga sekitar tahun 2000.
Tak adanya akses pasar untuk ikan memaksa mereka menjadi pemburu hiu. Banyak nelayan tenggelam dan meninggal. Kini, hasil tangkapan sudah bisa dibawa ke Saumlaki atau dijual ke pengepul ikan segar di Adaut.
Komunikasi untuk urusan bisnis juga semakin lancar. Pulau berpenduduk sekitar 13.000 orang itu sudah dijangkau jaringan telekomunikasi. Kini, warga menanti masuknya jaringan internet.
Menurut Frets, masyarakat Selaru sangat berterima kasih atas perhatian pemerintah untuk warga di perbatasan. Mereka ingin menyampaikan rasa terima kasih itu kepada Presiden Joko Widodo yang menurut rencana akan mengunjungi Selaru pada pertengahan Mei lalu. Namun, rencana Presiden yang sekaligus untuk memantau latihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat TNI itu batal.
”Sekarang yang membuat kami sedih, kenapa ada gerakan untuk mengganti Presiden? Kurang baik apa Presiden bagi kami di timur, bagi kami di perbatasan. Saat kami mulai diperhatikan, mereka di bagian barat Indonesia yang sudah maju itu ingin Presiden diganti. Kalau diganti, kami tidak punya harapan lagi,” kata Frets dengan nada bergetar.
Pembangunan di Selaru sebagai bukti masyarakat perbatasan mulai diperhatikan. Memang, penantian selama 70 tahun adalah waktu yang lama. Kepala Desa Lingat Melkisedek Baumaseh mengatakan, keadilan sosial merupakan kunci untuk merawat persatuan dan kesatuan di perbatasan.