Kejaksaan Agung Tunggu Perintah Presiden Selesaikan Kasus HAM
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung masih menanti perintah langsung dari Presiden Joko Widodo dalam menyelesaikan kasus hak asasi manusia berat masa lalu. Hal ini agar kasus yang ditangani dapat berjalan dengan baik dan sungguh-sungguh sesuai ketentuan serta fakta yang ada.
Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, penuntasan kasus HAM masa lalu bukan hanya tugas Kejagung, melainkan juga tugas bersama lembaga lain, seperti Komnas HAM.
”Kejagung hanya menerima hasil penyelidikan dari Komnas HAM. Penanganan sudah bisa jalan jika sudah ada peradilan ad hoc-nya sehingga hasil penyelidikan telah memenuhi syarat untuk ditingkatkan ke penyidikan,” ujar Prasetyo seusai menjalani rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Namun, Ketua Komisi Nasional HAM Ahmad Taufan Damanik pada konferensi pers kemarin mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan penyelidikan terhadap beberapa kasus yang diduga terjadi pelanggaran HAM berat. Penyelesaian kasus itu dinilai terhenti di Kejagung sebagai penyidik karena tidak segera membentuk tim penyidik.
Taufan menjelaskan, setidaknya ada sembilan kasus yang diselidiki Komnas HAM dan laporannya telah diberikan kepada Kejagung. Sembilan kasus tersebut adalah peristiwa pembantaian (1965-1966); penembakan misterius (1982-1985); peristiwa Talangsari, Lampung (1989); penculikan aktivis (1997-1998); tragedi Trisakti, Semanggi 1 dan Semanggi II (1998); tragedi kerusuhan Mei 1998 (1998); tragedi penembakan Simpang KKA, Aceh Utara (1999); pelanggaran HAM di Papua terkait peristiwa di Wasior (2001) dan Wamena (2003); dan tragedi Jambu Kepok, Aceh Selatan (2003), Kompas (5/6/2018).
Menanggapi hal ini, Prasetyo menyatakan bahwa Kejagung masih menunggu perintah langsung dari Presiden. ”Kami sungguh-sungguh menangani kasus ini. Tentunya kami juga harus ada perintah dari Pak Presiden supaya kasus ini ditangani dengan baik dan sungguh-sungguh sesuai ketentuan dan fakta yang ada,” ujarnya.
Prasetyo sempat berkilah bahwa Kejagung tak mengetahui dokumen rekomendasi hasil penyelidikan tim pencari fakta (TPF) yang dibentuk menelusuri sejumlah kasus pelanggaran HAM. Menurut Prasetyo, ada dokumen rekomendasi TPF yang tidak ditemukan keberadaannya.
Kami sungguh-sungguh menangani kasus ini. Tentunya kami juga harus ada perintah dari Pak Presiden supaya kasus ini ditangani dengan baik dan sungguh-sungguh sesuai ketentuan dan fakta yang ada.
Senada dengan Prasetyo, Taufan juga menyampaikan, Presiden sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi perlu memastikan bahwa proses penyidikan itu dimulai.
Mencuatnya kembali penyelesaian kasus HAM ini terjadi seusai Presiden untuk pertama kalinya sejak menjabat sebagai presiden menerima para aktivis dan korban kasus HAM di Istana Merdeka, Jakarta, Sabtu (2/6/2018).
Penerimaan aktivis HAM ini tidak terlepas dari janji kampanye Presiden saat Pilpres 2014. Presiden berjanji akan mengusut dan menuntaskan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu, seperti kasus pembantaian massal 1965-1966, kasus penembakan Trisakti 1998, kasus penculikan mahasiswa 1998, dan kasus pelanggaran HAM lainnya.
Hasil pertemuan tersebut menyatakan, Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi SP berjanji akan memanggil Jaksa Agung HM Prasetyo serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto untuk membicarakan masalah tersebut. Jaksa Agung juga diperintahkan untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM.
Segera dituntaskan
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri mengatakan, dampak yang dihadapi bagi keluarga korban akan sistematik dan luas jika kasus HAM ini dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera diselesaikan secara tuntas.
Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi SP berjanji akan memanggil Jaksa Agung HM Prasetyo serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto untuk membicarakan masalah tersebut. Jaksa Agung juga diperintahkan untuk berkoordinasi dengan Komnas HAM.
”Korban dan keluarganya akan menua, keadilan makin jauh, dan memori publik makin lapuk karena terus digerus dengan hal-hal anti-keadilan serta kebenaran,” kata Puri.
Selain itu, kasus HAM jika tidak segera dituntaskan juga dapat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena masyarakat tidak berani menjawab tentang ketidakadilan yang terus diabaikan. Pihak-pihak yang bersalah akan terus takut untuk mengakui kesalahan dan situasi tersebut berulang di masa depan.
Puri menambahkan, Kejagung dan Komnas HAM juga terkesan berbeda pandangan hingga memunculkan sebuah polemik. Kedua lembaga yang berwenang mengusut kasus HAM ini seharusnya bisa menyamakan persepsi dan mengatasi polemik yang terjadi.
Menurut dia, polemik antara Kejagung dan Komnas HAM bukanlah sesuatu hal yang baru. Polemik antarkedua lembaga ini juga pernah terjadi saat menyiapkan berkas penyelidikan kasus Trisakti Semanggi I dan II.
”Saat itu kami lima kali mencatat ada ’pingpong’ berkas antara Kejagung dan Komnas HAM. Hal ini menjadi tugas Istana untuk menjawab mengapa ada perbedaan pandangan dari sisi Komnas HAM dan Kejagung,” ujar Puri.
Puri dan aktivis HAM lainnya berharap presiden dapat melakukan pertemuan tindak lanjut dengan pihak yang terlibat dalam sembilan kasus HAM tersebut. Pertemuan itu perlu melibatkan korban, keluarga korban, dan lembaga berwenang, yakni Kejagung dan Komnas HAM.
Pertemuan tindak lanjut ini juga dapat menambah pengetahuan presiden dan menjadi kunci lanjutan untuk melihat dasar dari kesembilan kasus HAM tersebut.