Kekacauan Sulit Dikendalikan, Geng-geng Remaja Merajalela
JUBA, SENIN — Situasi negara yang kacau balau merugikan semua warga. Tak hanya kaum lanjut usia, dewasa, dan anak-anak yang dirugikan. Kaum remaja pun harus merasakan dampak kekacauan tersebut. Mereka tak bersekolah, tak mempunyai kegiatan yang positif, sehingga masa depan mereka pun suram.
Hal itu dirasakan Puok Barar, remaja Sudan Selatan berusia 16 tahun. Setelah dua kali lolos dari cengkeraman pemberontak Sudan Selatan yang memaksanya ikut bertempur untuk membela mereka, Barar telah mengalami hal-hal yang paling menakutkan dalam hidupnya.
Bahkan, setelah tinggal di kamp PoC3 (Protection of Civilians), kamp untuk ”Perlindungan Warga Sipil” yang dikelilingi pagar kawat berduri di pinggiran Juba, ibu kota Sudan Selatan, Barar pun masih saja merasa ketakutan. Kamp PoC3 ini dihuni warga yang kehilangan keluarga akibat kekerasan dan konflik di Sudan Selatan.
Para pemberontak Sudan Selatan yang pernah menculik Barar mungkin sudah jauh darinya. Akan tetapi, di dalam Kamp PoC3 dengan tempat hunian berupa tenda-tenda bobrok di tanah berlumpur itu, banyak pemuda seusia Barar berkeliaran dan menyerang warga lainnya.
”Mereka mempersenjatai diri dengan parang dan pisau,” kata Barar. Dia menggambarkan maraknya penggunaan alkohol dan narkoba oleh geng-geng pemuda dengan nama-nama, seperti G-Unit dan Westlife. Mereka berkelahi, mencuri, dan melakukan pelecehan terhadap warga lain.
Nyenhial James Lam (16), teman Barar, menambahkan bahwa gadis-gadis remaja Sudan Selatan juga membentuk geng-geng dan menggunakan narkoba. ”Gadis-gadis itu berantem seperti remaja lelaki,” katanya.
Perang saudara
Sampai saat ini, perang saudara masih terjadi di Sudan Selatan. Negara ini merupakan negara termuda di dunia yang baru berdiri pada tahun 2011 setelah memisahkan diri dari Sudan. Perang saudara masih terus terjadi setelah bentrokan tahun 2013 antara pasukan yang setia kepada Presiden Salva Kiir dan kelompok yang mendukung mantan Wakil Presiden Riek Machar.
Kekerasan, seperti perkosaan dan serangan terhadap warga sipil, telah memaksa sepertiga dari 12 juta penduduk Sudan Selatan mengungsi. Puluhan ribu orang berupaya menyelamatkan diri dari kekerasan dan berlari ke pangkalan pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meminta perlindungan.
”Kamp PoC ini dimaksudkan sebagai tempat penampungan sementara,” kata Rob Simpson, Direktur ACTED yang mengelola tiga Kamp PoC.
Namun, perundingan perdamaian yang macet, ditambah dengan korupsi negara yang makin merajalela, dan perang terus terjadi tak ada yang mau menyerah, membuat banyak orang tak bisa pulang ke kampung asal mereka. Di tengah kekacauan seperti itu, orang muda ikut menanggung beban.
Sejauh ini, PBB menyiapkan enam tempat perlindungan warga sipil di seluruh Sudan Selatan yang menampung lebih dari 200.000 warga. Menurut Overseas Development Institute yang berbasis di London, Inggris, dalam lima tahun terakhir, empat kamp telah diserang gerombolan bersenjata yang mengakibatkan lebih dari 180 warga tewas.
Thomas Makur Ruop, kepala guru di sekolah Barar, mengkhawatirkan situasi generasi muda di Sudan Selatan. Mereka adalah generasi pertama Sudan Selatan, tetapi sudah kecanduan alkohol, narkoba, dan melakukan berbagai kejahatan.
”Suatu hari, mereka akan menjadi perampok dan sangat mungkin merebut kekuasaan,” kata Ruop. ”Mereka sangat mungkin mengembangkan sesuatu yang berbeda, seperti Boko Haram di Nigeria."
Dengan taktik kekerasan, mulai dari serangan bom bunuh diri hingga penculikan dan pencurian, sebagian besar anggota Boko Haram adalah para penganggur. Mereka adalah pemuda-pemuda frustrasi dari daerah-daerah tertinggal di Nigeria, Kamerun, Niger, dan Chad.
Tentara anak
Nasib Barar bisa dikata masih termasuk beruntung. Meskipun diculik oleh pemberontak dan dibawa pergi keluar dari desanya, ia berhasil lolos dan selamat. Ia kini tinggal di kamp.
Remaja-remaja lain belum tentu seberuntung Barar. Menurut PBB, ada sekitar 19.000 anak di bawah umur yang digunakan kelompok bersenjata di Sudan Selatan. Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) telah mengumumkan pembebasan lebih dari 500 tentara anak-anak dari tahanan sejak Februari 2018. Namun, perekrutan anak-anak oleh milisi terus berlanjut.
Di Kamp PoC, tindak kejahatan berkurang hampir sepertiga dari kasus-kasus yang terjadi pada tahun lalu karena ada intervensi pasukan penjaga perdamaian PBB dan polisi komunitas.
Menurut Francesca Mould dari Misi PBB di Sudan Selatan (UNMISS), geng-geng beranggotakan para laki-laki remaja berusia 15-20 tahun masih menimbulkan masalah, mulai dari vandalisme, perkelahian, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Situasi Kamp PoC di Bentiu bahkan dicap sebagai ”pusat kejahatan geng pemuda”.
Lembaga-lembaga bantuan internasional berupaya keras membantu warga telantar, seperti halnya di kamp-kamp di tempat lain. Tantangannya besar. Lembaga-lembaga itu tidak dapat membantu warga mencari nafkah dengan—misalnya—memelihara hewan karena ternak dilarang di PoC mengingat minimnya ruang di kamp tersebut.
Skema pelatihan bisnis terbatas pada apa yang dapat mereka capai karena satu-satunya klien adalah penghuni kamp. Menurut Simpson, kurangnya dana dan kebutuhan pokok adalah masalah lain. Sudan Selatan, kata Simpson, telah menjadi ”krisis yang terlupakan”. (THOMSON REUTERS FOUNDATION)