Pendidikan Agama, Benteng Utama Pencegah Radikalisme
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan agama menjadi salah satu benteng untuk mencegah perguruan tinggi terpapar radikalisme. Para sivitas akademika perlu berperan serta dalam memperkuat pendidikan agama agar mimbar kampus tidak disalahgunakan untuk penyebaran paham radikal.
Direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan, penyebaran paham radikal di kalangan mahasiswa bisa melalui perkumpulan dakwah ataupun sejumlah pengajian yang tidak terpantau oleh pihak kampus. Hal ini menjadi ironi karena seharusnya agama menjadi benteng untuk mencegah radikalisme.
”Pihak kampus perlu melakukan pengawasan terhadap para penceramah. Sebisa mungkin para penceramah yang diundang harus memiliki pemahaman Islam moderat,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Sebelumnya, penangkapan alumnus Universitas Riau di kampus tersebut di Pekanbaru, Sabtu (2/6/2018), oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri membuktikan infiltrasi paham radikal oleh kelompok radikal telah hadir di lembaga pendidikan.
Yenny mengatakan, penyebaran ini terjadi secara sistematis di kampus dan biasanya dimulai sejak tahun ajaran baru. Target utamanya yaitu mahasiswa baru yang berasal dari luar daerah.
Penyebaran paham radikal terjadi secara sistematis di kampus dan biasanya dimulai sejak tahun ajaran baru.
”Paham ini disebarkan oleh senior kampusnya dengan cara yang sangat baik. Para senior memberikan perhatian lebih kepada mahasiswa baru ini dengan memberikan tumpangan kos, misalnya, kemudian memberikan ajaran-ajaran radikal,” ujarnya.
Pengamat terorisme, Al Chaidar, menjelaskan, mahasiswa yang pemahaman agamanya belum kuat menjadi salah satu target penyebaran paham radikal.
”Mereka merasa kehausan secara spiritual sehingga mencari orang-orang yang bisa mengisi kekosongan spiritual tersebut. Hingga akhirnya, mahasiswa ini bertemu dengan kelompok radikal yang bisa mengisi kekosongan ini,” katanya.
Peran sivitas akademika
Yenny menuturkan, mahasiswa memasuki usia pencarian jati diri. Mereka perlu sosok yang dapat menjawab sejumlah pertanyaan terkait ideologi tersebut.
”Dalam hal ini, peran sivitas akademika bisa masuk untuk dialog dengan mereka. Mereka perlu mendapatkan bimbingan. Selain itu, orangtua juga perlu mengawasi anak-anaknya di dunia perkuliahan,” katanya.
Mahasiswa yang kecewa dengan sistem birokrasi kampus bisa dengan mudah terpapar radikalisme.
Al Chaidar mengatakan, mahasiswa yang kecewa dengan sistem birokrasi kampus bisa dengan mudah terpapar radikalisme. Menurut dia, sistem birokrasi perguruan tinggi harus bisa menyerap aspirasi mahasiswa.
”Mahasiswa yang merasa birokrasi kampusnya rumit tentu merasa ingin melawan sistem birokrasi tersebut. Selain itu, mahasiswa yang telah di-drop out dari kampus juga mudah terpapar radikalisme karena merasa kecewa dengan kampusnya,” ujarnya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir mengatakan, setelah pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, Kemristek dan Dikti semakin memperkuat pengawasan serta bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Nota kesepahaman dengan BNPT sudah ditandatangani sejak 2015.
”Terkait kasus di Universitas Riau, kami merasa tidak kecolongan. Deteksi dini perlu dilakukan secara terus-menerus. Selain itu, pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan perlu diperkuat di perguruan tinggi,” ujarnya.
Nasir berencana mengadakan pertemuan dengan sejumlah rektor perguruan tinggi negeri pada 25 Juni 2018. Pertemuan ini bertujuan mengantisipasi agar kampus tidak terpapar radikalisme atau paham radikal.