JAKARTA, KOMPAS - Perubahan pola pikir guru terhadap ideologi pendidikan merupakan keniscayaan. Ideologi pendidikan yang lazim dipahami adalah pendidikan sebagai cara menstardardisasi manusia, padahal semestinya pendidikan adalah untuk memerdekakan manusia dan mengembangkan bakat serta minat.
"Saat ini, yang terjadi di sekolah ialah semua siswa harus mencapai standar yang sama dengan cara seragam. Faktanya, siswa-siswa memiliki latar belakang yang berbeda dan kemampuan berbeda dalam menangkap materi pelajaran," kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal di Jakarta, Senin (4/6/2108). Ia dan timnya diundang untuk memberi pemaparan di hadapan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad beserta stafnya.
Rizal menjelaskan, penerapan standar yang seragam mengakibatkan siswa tertekan dan stres. Mereka jadi jenuh dengan sekolah. Walhasil, pencapaian akademis mereka menurun. Bisa juga semangat belajar menurun ketika sudah duduk di bangku kuliah sehingga mengakibatkan mereka lama lulus kuliah, putus kuliah, ataupun lulus dengan indeks prestasi kumulatif tidak baik.
Berdasarkan penelitian psikolog dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, yang bernama Angela Duckworth, kunci prestasi siswa bukanlah tingkat kecerdasan, bakat, dan infrastruktur sekolah. Duckworth menemukan bahwa kunci utama kesuksesan seseorang adalah motivasi.
Argumentasi Duckworth mengatakan, agar bisa memiliki motivasi, seseorang harus menyukai bidang tersebut. Artinya, agar siswa bermotivasi belajar, ia harus menyenangi sekolah dan proses pembelajaran. Penelitian ini diadaptasi dan dijadikan landasan bagi GSM.
"Proses pembelajaran di sekolah belum membuat siswa tertarik, bahkan menilai akan bermanfaat bagi masa depan siswa," tutur Rizal. Metode latihan soal terus-menerus yang berdasarkan kisi-kisi ujian (drilling) membuat siswa jenuh dan terkungkung.
Personalisasi belajar
Dalam paparannya, Rizal mengemukakan langkah awal yang bisa diambil ialah melakukan personalisasi belajar. Dalam hal ini, siswa menjadi subyek pembelajaran yang aktif, bukan sekadar penerima materi ajar.
Perancangan ruang kelas misalnya, diatur berdasarkan masukan siswa. Mereka yang memutuskan tata letak meja, kursi, serta perangkat alat bantu pembelajaran.
Dalam pengenalan materi pelajaran, siswa menentukan target capaian mereka. "Target utama adalah pada akhir semester setiap siswa menguasai materi yang ditentukan oleh kurikulum. Akan tetapi, proses pembelajaran materi ditentukan oleh setiap siswa tergantung kemampuan dan metode belajar masing-masing," jelas Rizal.
Dengan begitu, pembelajaran banyak menggunakan pembuatan proyek, penelitian, dan penulisan makalah. Siswa menentukan target capaian mereka per bulan dan per semester. Tugas guru memantau capaian tersebut sesuai dengan rencana pembelajaran.
"Apabila siswa kesulitan mencapai target yang ia tentukan, guru mengintervensi dengan memberi masukan cara belajar ataupun memberi materi tambahan," tutur Rizal. Dalam hal ini, fungsi guru sebagai fasilitator dimaksimalkan.
Metode personalisasi belajar ini mengkomodasi keragaman yang terjadi di lapangan. Guru, siswa, dan sekolah diberi kebebasan mengembangkan sistem pembelajaran yang sesuai dengan kondisi serta keunikan di setiap kelas. Hal ini juga mendidik disiplin siswa serta memperluas wawasan guru bahwa target kurikulum bisa dicapai dengan berbagai cara.
GSM sudah dilaksanakan di 27 sekolah di Yogyakarta dan Jawa Tengah serta 14 sekolah di Tangerang Selatan, Banten. Dirjen Dikdasmen Kemendikbud Hamid Muhammad mengatakan, timnya akan mengunjungi sekolah-sekolah tersebut seusai libur Idul Fitri."Apabila cocok, bisa diadaptasi di sekolah-sekolah rujukamn Kemendikbud," katanya. (DNE)