JAKARTA, KOMPAS –Harga rokok harus mahal sehingga tidak terjangkau oleh anak, remaja, juga warga miskin. Harapannya, kasus penyakit jantung dan pembuluh darah menurun seiring berkurangnya jumlah perokok. Dalam jangka panjang, langkah ini dinilai bisa mengurangi beban biaya kesehatan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Demikian pesan yang disampaikan Ketua Harian Komite Nasional Pengendalian Tembakau Laksmiati Hanafiah dan Ketua Umum Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia (Perki) Ismoyo Sunu pada jumpa pers sekaligus webinar memeringati Hari Tanpa Tembakau Sedunia di Jakarta, Selasa (5/6/2018).
Laksmiati mengatakan, kini Indonesia darurat rokok. Usia pertama kali merokok kian muda. Prevalensi merokok pertama kali bagi kelompok umur 20-24 menurun dari 26 persen tahun 1995 menjadi 16 persen tahun 2013. Di periode yang sama, prevalensi merokok pertama kali di kelompok umur 10-14 tahun naik dari 9 persen menjadi 17 persen.
Di saat yang sama, rokok yang tak memiliki manfaat apa pun bagi kesehatan masih diberi keleluasaan beriklan. Tak jarang dalam iklan, harganya yang murah dicantumkan jelas. Bahkan, dalam keseharian rokok bisa dibeli batangan atau ketengan. Akibatnya, anak-anak, remaja, dan orang miskin masih mampu membeli rokok.
“Bagaimana bisa barang berbahaya malah diiklankan. Di negara yang lebih beradab iklan rokok sudah dilarang sejak lama,” kata Laksmiati.
Bagaimana bisa barang berbahaya malah diiklankan. Di negara yang lebih beradab iklan rokok sudah dilarang sejak lama.
Penyakit kardiovaskular
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, Ade Meidian Ambari, menegaskan, masyarakat sadar sepenuhnya bahwa merokok bisa menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung dan stroke. Namun, mayoritas perokok tidak kuasa berhenti merokok karena kuatnya cengkeraman candu.
Menurut Ade, rokok menyebabkan penyakit kardiovaskular melalui proses aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah) dan trombosis (penggumpalan darah). Penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung dan stroke termasuk penyakit katastropik, yakni penyakit berbiaya tinggi yang mengancam jiwa.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menunjukkan, periode Januari-September 2017 BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp 6,5 triliun untuk membiayai pengobatan tujuh juta kasus penyakit jantung di Indonesia. Jumlah kasus tersebut meningkat dibandingkan tahun 2016 yang 6,5 juta kasus.
Satu orang pasien penyakit kardiovaskular membutuhkan biaya pengobatan Rp 40,6 juta setahun. Diperlukan 1.593 peserta sehat untuk membiayai seorang pasien penyakit kardiovaskular dalam setahun.
Cukai rokok
Di tempat terpisah, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Abdillah Ahsan, berpendapat, cukai sebenarnya menjadi instrumen investasi sumber daya manusia. Cukai rokok yang tinggi diharapkan dapat menurunkan konsumsi rokok, menurunkan kasus penyakit katastropik, dan masyarakat pun lebih sehat. Masyarakat sehat jadi tulang punggung ekonomi berkelanjutan.
“Pemerintah perlu menaikkan cukai di atas inflasi dan pertumbuhan ekonomi agar harganya tidak terjangkau,” kata Abdillah.
Pemerintah perlu menaikkan cukai di atas inflasi dan pertumbuhan ekonomi agar harganya tidak terjangkau.
Meski hampir setiap tahun tarif cukai rokok naik, konsumsi rokok pun terus naik. Padahal, sejatinya cukai adalah instrumen pengendalian konsumsi karena produk yang dikenai cukai adalah barang berbahaya. Itu berarti harga rokok tetap terjangkau meski tarif cukainya sudah dinaikkan.
Harga rata-rata rokok berdasarkan transaksi pasar tahun 2017 untuk sigaret kretek mesin (SKM), misalnya, Rp 15.827 per bungkus isi 12 batang. Padahal, SKM merupakan jenis rokok yang mendominasi pasar (63,37 persen).
Dalam riset tentang cukai, dosen FEB UI Eugenia Mardanugraha, memaparkan para perokok akan berhenti merokok jika harga rokok per batang Rp 23.204. Tarif cukai minimal yang bisa membuat perokok berhenti merokok sebesar 97 persen.