Jaring Radikalisme di Kampus
Penangkapan Muhammad Nur Zamzam alias Zamzam alias Jack di kompleks Universitas Riau, Pekanbaru, Riau, Sabtu (2/6/2018), menjadi contoh nyata gerakan kelompok teroris telah masuk kampus. Kelompok teroris tidak lagi sekadar menyebarkan pemikiran radikal melalui lembaga tertentu di universitas, tetapi telah menjadikan kampus sebagai ”tempat aman” untuk merencanakan aksi teror.
Peristiwa di Universitas Riau hanyalah puncak dari gunung es ancaman radikalisme di lembaga pendidikan, terutama universitas. Berbagai lembaga telah menunjukkan peringatan melalui hasil survei sepanjang 2017.
Survei Alvara Research Center yang diumumkan akhir Oktober 2017, misalnya, menunjukkan 23,4 persen mahasiswa setuju melakukan jihad untuk tegaknya khilafah di Indonesia. Lalu, 17,8 persen mahasiswa menganggap bentuk pemerintahan khilafah lebih baik dibandingkan dengan NKRI. Survei itu dilakukan ke 1.800 mahasiswa dari 25 universitas unggulan di Indonesia.
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga menguak adanya opini radikal dan intoleran yang cukup tinggi di kalangan siswa dan mahasiswa. Sebanyak 51 persen siswa dan mahasiswa memiliki opini tidak toleran, lalu 58,5 persen memiliki opini radikal. Hal itu merujuk pada survei terhadap 1.522 siswa dan 337 mahasiswa di 34 provinsi pada September-Oktober 2017.
”Opini intoleran dan radikal yang cenderung tinggi itu tidak berkolerasi dengan aksi intoleran dan radikal. Namun, temuan itu menjadi peringatan,” ujar peneliti senior PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Yunita Faela Nisa, dalam bincang-bincang Satu Meja di Kompas TV, Senin (4/6/2018), yang bertajuk ”Radikalisme Mencengkeram Kampus?”.
Dalam acara yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir pula sebagai pembicara Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria, Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Asrorun Niam Sholeh, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Irfan Idris, dan Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra.
Menurut Azyumardi, fenomena kampus yang rentan akan paham radikal dan intoleran bukan hal baru. Pada dekade 1970-an hingga 1980-an sudah muncul gerakan tarbiah di lingkungan universitas yang menolak otoritas negara.
Keberadaan gerakan radikal itu memanfaatkan situasi sulit mahasiswa, seperti saat harus beradaptasi dengan lingkungan sosial baru di universitas.
Efek kebebasan
Semakin masifnya penyebaran radikalisme di generasi muda tak lepas dari kebebasan yang didasari hadirnya media sosial. Tidak hanya berinteraksi dengan kerabat, medsos juga menawarkan alternatif bagi generasi muda untuk menemukan jati diri, salah satunya untuk belajar agama. Mengacu pada hasil survei PPIM, 54,87 persen anak muda lebih gemar mencari pengetahuan agama melalui dunia maya.
Memahami agama melalui dunia maya tidak sepenuhnya menjamin seseorang mendapatkan pemahaman keislaman yang sesuai dengan keberagaman di Indonesia. Alhasil, tak sedikit anak muda yang belajar agama secara otodidak di medsos akhirnya memiliki opini intoleran dan berpikiran anti terhadap perbedaan agama dan etnis di Tanah Air.
Memahami agama melalui dunia maya tidak sepenuhnya menjamin seseorang mendapatkan pemahaman keislaman yang sesuai dengan keberagaman di Indonesia
Asrorun menilai, penerimaan informasi dari dunia virtual, apalagi berkaitan dengan agama, tak bisa sepenuhnya dipercaya sebagai kebenaran. Pembelajaran agama baginya tidak bisa bersifat spekulatif sehingga memerlukan guru dengan otoritas penuh dalam ilmu keislaman.
”Dalam perspektif Islam, pengajaran agama harus dilakukan dengan pertemuan. Guru agama juga harus diketahui sanad (silsilah) keilmuannya,” katanya.
Asrorun berharap guru agama yang memiliki otoritas memproduksi media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan generasi muda, terutama dari sisi media pembelajaran dan bahasa yang mudah dipahami.
Azyumardi menambahkan, masifnya penyebaran radikalisme di kampus tak sekadar disebabkan penggunaan medsos. Ada dua faktor lain. Pertama, belum adanya kesadaran bersama dari pimpinan perguruan tinggi terhadap kelompok radikal sehingga agresivitas kelompok itu tidak disadari pimpinan kampus. Kedua, situasi sosial-politik yang membiarkan kehadiran kelompok radikal, bahkan ada pihak tertentu yang melibatkan kelompok itu untuk tujuan politik.
Masifnya penyebaran radikalisme di kampus tak sekadar disebabkan penggunaan medsos. Ada dua faktor lain. Pertama, belum adanya kesadaran bersama dari pimpinan perguruan tinggi terhadap kelompok radikal sehingga agresivitas kelompok itu tidak disadari pimpinan kampus. Kedua, situasi sosial-politik yang membiarkan kehadiran kelompok radikal, bahkan ada pihak tertentu yang melibatkan kelompok itu untuk tujuan politik.
Terkait dengan penyebaran paham radikal di kampus, Irfan menuturkan, pihaknya menggandeng 36 kementerian/lembaga untuk meningkatkan program pencegahan. Khusus di lembaga pendidikan, upaya itu dilakukan bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; serta Kementerian Agama. ”Kami tengah menyusun rencana aksi pencegahan,” ujar Irfan.
Di kampus IPB, Arif mengungkapkan, program nyata untuk menjaga pluralitas dan toleransi telah dilaksanakan. Semua mahasiswa baru, harus masuk di dalam asrama yang multikultural, sedangkan mahasiswa juga memiliki aktivitas padat yang sesuai dengan minat dan bakat.
”Kami telah terapkan Pancasila by action. Dengan aktivitas penuh itu, diharapkan tidak ada mahasiswa yang berpikiran macam-macam, seperti ikut kelompok radikal,” katanya.
Akhirnya, untuk mencegah terjaringnya generasi muda dalam paham radikal, perlu perhatian semua pihak. Guru agama harus menyesuaikan dengan kehadiran wadah baru pengajaran di medsos, perhatian lingkungan sosial, dan kepedulian petinggi perguruan tinggi untuk menghilangkan bibit radikalisme di kampus.