DEPOK, KOMPAS — Sepekan setelah sidang putusan kasus penipuan dan tindak pidana pencucian uang biro umrah First Travel, para calon jemaah yang gagal berangkat masih berjuang mencari keadilan dan perlindungan. Mereka tetap berharap uang yang sudah disetorkan lunas kepada PT First Anugerah Karya Wisata bisa dikembalikan.
Senin (4/6/2018), kuasa hukum korban, Lutfi Yazid, menyampaikan, Perkumpulan Pengurus Pengelolaan Aset Korban First Travel (PPPAKFT) mendatangi Ombudsman RI dan meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ada beberapa poin yang disampaikan kuasa hukum dan PPPAKFT kepada Ombudsman dan LPSK. Salah satunya pertanyaan mengapa jaksa penuntut umum selaku eksekutor negara justru tidak ada dalam wadah PPPAKFT.
Para korban juga kembali mempertanyakan mengapa barang bukti yang disita tak semuanya masuk dalam tuntutan jaksa. Aset-aset besar, seperti rumah mewah pemilik First Travel di kawasan Sentul City, kantor First Travel di Jalan Radar AURI Cimanggis, serta mobil-mobil mewah, seperti Hummer, Toyota Vellfire, Fortuner, Mitsubishi Pajero Sport, dan Mercy E 250, tidak masuk dalam aset yang dilimpahkan kepada korban.
Aset yang dilimpahkan ke korban justru barang-barang dengan penyusutan tinggi, seperti kacamata, gaun, gorden, ikat pinggang, dan jam tangan. Menurut perkiraan PPPAKFT, nilai aset itu ”hanya” sekitar Rp 25 miliar. Padahal, jumlah uang yang sudah disetor lunas 63.310 calon jemaah umrah senilai Rp 900 miliar lebih. Jika dibagi rata kepada calon jemaah tersebut, satu orang diperkirakan hanya akan menerima Rp 200.000.
”Kami berharap LPSK bisa melakukan intervensi untuk menyelamatkan aset First Travel. LPSK memiliki yurisdiksi untuk melindungi harta korban kejahatan,” kata Lutfi, Rabu (6/6/2018).
Menurut Lutfi, LPSK bisa mengintervensi hal tersebut karena diatur dalam Pasal 5 Ayat 1f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, perlindungan terhadap korban juga diatur dalam UU No 13/2006 juncto Peraturan Pemerintah No 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, serta Bantuan kepada Saksi dan Korban.
Restitusi dan kemanusiaan
Tenaga ahli LPSK, Rully Novian, mengatakan, dalam kasus tindak pidana pencucian uang, LPSK dapat memfasilitasi restitusi atau penggantian kerugian korban yang dibebankan kepada pelaku. LPSK bisa membantu menghitung berapa ganti rugi yang harus dibayarkan kepada korban.
Namun, lazimnya permohonan itu diajukan pada saat proses persidangan. Permohonan restitusi tetap bisa diajukan sebelum berstatus hukum inkracht.
”Korban masih punya hak untuk mengajukan permohonan restitusi dan LPSK bisa memfasilitasi hal tersebut,” kata Rully.
Menurut Rully, para korban hanya bisa mengajukan restitusi tetapi tidak bisa menuntut kompensasi dari negara. Sebab, sesuai aturan yang bisa menerima kompensasi hanyalah korban terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia berat.
Sebelumnya, dalam putusannya, majelis hakim Pengadilan Negeri Depok tidak hanya memutuskan pidana penjara kepada tiga petinggi First Travel. Majelis hakim juga memutuskan sejumlah aset untuk disita dan dirampas oleh negara.
Namun, kuasa hukum mempertanyakan keputusan hakim itu. Alasannya, aset dari First Travel dibeli dari uang setoran calon jemaah bukan hasil korupsi. Apalagi, mayoritas korban menginginkan uangnya kembali atau refund.
”Sebagian dari jemaah mengumpulkan uang untuk ibadah umrah itu dari dana pensiun, uang lembur, jualan sayur, dan sebagainya,” kata Lutfi.
Lutfi menambahkan, sesuai dengan Pasal 46 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP), pengembalian atau pengalihan barang sitaan harus memperhatikan segi kemanusiaan dengan mengutamakan yang menjadi sumber kehidupan. Artinya, jika ada aset sitaan yang akan dikembalikan, yang harus diutamakan adalah orang kecil atau yang less in power, yaitu calon jemaah. Bagi calon jemaah, uang sebesar itu dapat menjadi sumber kehidupan.