Janji Presiden Joko Widodo terkait reforma agraria seluas 9 juta hektar sebagian bersumber dari dalam kawasan hutan. Sistem dan metode pelaksanaannya telah dibentuk dengan menempatkan kepala daerah sebagai garda terdepan yang memastikan penerima distribusi lahan tepat sasaran.
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur dan bupati menjadi penyaring terdepan untuk memastikan distribusi lahan yang berasal dari kawasan hutan tepat sasaran. Distribusi lahan melalui pelepasan kawasan hutan menjadi alat untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia serta membangun perekonomian di daerah.
Selanjutnya, pelepasan kawasan hutan sebagai tanah obyek reforma agraria (TORA) agar tidak hanya berhenti pada sertifikasi atau legalitas, namun juga hingga pendampingan masyarakat penerima. Ini untuk memastikan lahan yang diterima masyarakat membawa dampak peningkatan ekonomi dan tidak diperjualbelikan atau disalahgunakan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Mei 2018) menunjukkan 977.824,31 hektar (ha) TORA dari kawasan hutan telah direalisasikan. Ini terdiri dari kewajiban 20 persen pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan (422.467 ha), permukiman transmigrasi beserta fasilitasnya yang telah mendapat persetujuan prinsip (264.578,31 ha), serta permukiman beserta fasilitasnya, lahan garapan sawah dan tambak, dan pertanian lahan kering (290.579 ha).
Data per Mei 2018 menunjukkan, 977.824,31 hektar tanah obyek reforma agraria dari kawasan hutan telah direalisasikan.
“Gubernur harus tahu persis tanah diberikan kepada siapa dan berapa luas,” kata Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (5/6/2018), di Jakarta di sela-sela Rapat Kerja Nasional Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH).
Rapat tersebut dihadiri Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution yang juga Ketua tim PPTKH beserta Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan A Djalil dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Sejumlah wakil gubernur serta perwakilan Pemprov mengikuti sosialisasi dan pengarahan ini.
Kegiatan ini sebagai tindak lanjut Peraturan Presiden Nomor 88/2017 tentang PPKTH. Kebijakan ini sebagai strategi untuk memenuhi janji Reforma Agraria seluas 9 juta ha. Luasan ini bersumber dari legalisasi aset 4,5 juta ha dan redistribusi tanah 4,5 juta ha. Redistribusi tanah ini bersumber dari kawasan hutan yang terdiri dari pelepasan kawasan hutan (4,1 juta ha) dan hak guna usaha yang telantar atau tak diperpanjang (0,4 juta ha).
Berdasarkan inventarisasi KLHK, terdapat 4.949.737 ha kawasan hutan yang berpotensi menjadi sumber TORA. Ini termasuk 100.000 ha wilayah konsesi yang diusulkan pengelolanya sebagai area TORA.
Penguasaan aset
Apabila target ini tercapai, ketimpangan penguasaan aset lahan yang saat ini 88 persen dikuasai perusahaan dan 12 persen masyarakat, bisa diturunkan menjadi 59-62 persen dikuasai perusahaan 38-41 persen dikuasai masyarakat.
Ketimpangan penguasaan aset lahan saat ini 88 persen dikuasai perusahaan dan 12 persen masyarakat.
Menteri Sofyan Djalil mengingatkan agar distribusi tanah ini tidak malah diperjualbelikan penerimanya. Karena itu, ia pun mengingatkan akan pentingnya kelanjutan pengelolaan tanah itu oleh masyarakat agar membawa manfaat ekonomi.
Di sisi lain, ia menemui tantangan penolakan sertifikasi oleh masyarakat. Masyarakat mengkhawatirkan sertifikasi membawa konsekuensi pembayaran pajak.
"Mohon agar pemerintah daerah bantu sosialisasi dan penyuluhan serta pemerintah (daerah) memiliki ruang untuk memberikan insentif pajak contohnya pembebasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)," kata dia.
Darmin Nasution pun menegaskan kehati-hatian terkait TORA di hutan konservasi dan hutan lindung. "Kami cenderung memindahkan atau resetllement,"kata dia.
Ia beralasan penetapan hutan konservasi dan hutan lindung telah melalui kajian dan pertimbangan untuk mendukung kehidupan masyarakat dan daerah tersebut. Pada area ini, KLHK menawarkan solusi berupa perhutanan sosial melalui zonasi pemanfaatan tradisional. Pemanfaatannya berupa produk hutan nonkayu serta jasa lingkungan/wisata.