Perjuangan Buruh Lepas Penggali Tanah untuk Bertahan Hidup
Sarudin (54) menatap jembatan layang yang sehari-hari menjadi pemandangan tak terpisahkan dari hidupnya. Deru suara kendaraan bermotor dan empasan debu menjadi teman yang mengiringi tidurnya.
Ia melepas baju dan terlihat tubuhnya yang kurus kering. ”Di sini panas sekali karena kena asap kendaraan bermotor,” kata Sarudin saat ditemui di bawah jembatan layang Jalan Letjen S Parman, Jakarta Barat, Selasa (5/6/2018) dini hari.
Sarudin tinggal bersama lima temannya di bawah jembatan layang seberang Kampus Universitas Trisakti. Mereka berasal dari Brebes, Jawa Tengah, dan bekerja sebagai buruh harian lepas penggali tanah.
Sarudin menceritakan, ketika masih berumur 4 tahun, kedua orangtuanya meninggal. Ia pun diasuh kakeknya. Karena keterbatasan biaya, ia tidak pernah merasakan bangku sekolah formal. Meskipun demikian, ia sering ikut belajar di sekolah dekat rumahnya dari balik pagar kawat.
”Saya belajar membaca dan menulis secara otodidak,” ujar lelaki yang hobi membaca buku, mengisi teka-teki silang, dan mengikuti perkembangan berita tersebut.
Sejak saat itu, Sarudin bekerja serabutan, salah satunya berjualan es mambo. Perjuangan tersebut terus berlanjut hingga akhirnya pada 1978, Sarudin memutuskan merantau ke Jakarta. Ia bersama kakaknya pergi ke Jakarta dengan bermodalkan cangkul dan belencong (sejenis cangkul yang memiliki dua mata pisau. Alat ini berfungsi untuk menggali tanah dan membelah batu).
Ia memilih merantau ke Jakarta karena dalam benaknya, Jakarta memiliki peluang lapangan kerja yang besar untuk bertahan hidup.
Pertama kali merantau, ia menetap di Grogol, Jakarta Barat. Setelah jembatan layang di Jalan Letjen S Parman dibangun, Sarudin tinggal di bawah jembatan tersebut dengan beralaskan kardus bekas di atas trotoar.
Ia gunakan tas berisi bajunya sebagai bantal. Cangkul dan belencong ditaruh di dekat kepalanya. Kedua alat tersebut seperti sahabat yang tidak pernah ditinggalkannya.
Sebelum ada toilet umum, Sarudin mandi, buang air besar, dan mencuci baju di kali dekat Rumah Pompa Kyai Tapa yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Ia bersama dengan teman-temannya mengandalkan lampu jalan sebagai alat penerangan.
Debu dan nyamuk menjadi teman sehari-hari yang tak pernah jemu hinggap di tubuh mereka. Beberapa kali mereka terbangun dari tidur karena suara bising dari kendaraan bermotor. Mereka pun hanya dapat duduk di atas kardus dan memandangi aspal di depannya.
Gali tanah
Berbagai pekerjaan dilakukan Sarudin untuk bertahan hidup di Jakarta. Cangkul dan belencong tersebut terus dibawa Sarudin ke mana pun ia pergi.
Sebagai buruh harian lepas penggali tanah, Sarudin mendapatkan uang Rp 200.000 per hari. Karena cukup dikenal sebagai tempat tinggal buruh harian lepas gali tanah, tempat tinggal Sarudin sering didatangi orang yang membutuhkan jasanya.
Ia pernah menggali tanah sampai di Aceh, Kalimantan, dan Lombok. Dalam perjalanan menuju tempat tersebut, Sarudin tetap membawa cangkul dan belencong miliknya.
Beberapa kali Sarudin ditipu. Ia pernah dibayar tidak sesuai dengan uang yang dijanjikan pemesannya. Sarudin berusaha meminta haknya tersebut, tetapi tidak pernah ditanggapi, bahkan diusir.
Sejak dua bulan terakhir, ia menganggur karena tidak dapat pesanan. Sarudin dan teman-temannya pun mengandalkan uang dari hasil tabungan dan berutang kepada warung dekat ia tinggal. Terkadang, ada orang yang bersedekah memberi makanan.
”Biasanya pada bulan Ramadhan dan musim pemilihan umum banyak orang memberikan pertolongan, tetapi kalau di luar masa itu, sangat jarang orang mau membantu atau bahkan hanya sekadar bertemu,” ujar Sarudin sambil tersenyum.
Karena pemasukannya yang tidak pasti, Sarudin mengaku, beberapa kali harus menahan lapar selama 2 hari hingga 3 hari. Ia menceritakan, beberapa tahun yang lalu secara terpaksa mengambil besi umbul-umbul untuk dijual karena sudah tidak dapat menahan rasa lapar.
Namun, ia ketahuan polisi militer dan ditangkap. Sarudin pun menerima sejumlah pukulan di wajahnya. Rasa lapar dan sakit pun menyatu di dalam tubuhnya.
Perjalanan hidupnya yang keras itu semakin berat ketika ia mengalami sakit di tulang kakinya. Sakit itu terjadi karena harus menggali tanah dari pagi hingga malam hari ketika bekerja di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
”Setiap malam kaki saya rasanya sakit sekali, sepertinya terkena rematik karena kalau kena air rasanya panas,” ujar Sarudin dengan raut muka sedih.
Keluarga
Sarudin pernah dua kali menikah, tetapi keduanya berujung pada perceraian. Perceraian tersebut terjadi karena sering terjadi percekcokan, salah satunya terkait dengan pekerjaan Sarudin yang tidak pasti.
Kesedihan Sarudin pun semakin besar ketika mengingat kedua anak dari istri pertama tidak memedulikan dirinya. ”Mereka tidak pernah menengok atau sekadar menanyakan kabar saya,” ujar Sarudin dengan nada lirih.
Ia mengingat perjuangan membesarkan dan menyekolahkan kedua anaknya. Sarudin rela bekerja dari pagi hingga malam hari dengan menjadi tukang gali tanah dan sebagai penjual asongan.
Sarudin mengaku pernah memiliki rumah hingga dua kali. Namun, rumah tersebut telah dijual istri pertamanya.
Adapun pernikahan keduanya hanya bertahan seminggu karena istrinya enggan bertemu dengan Sarudin setelah pulang dari tempat perantauan. Kerinduan Sarudin hidup bahagia bersama keluarga pun harus dipendamnya di dalam hati.
Kerinduan kepada keluarga juga dirasakan Rusdiyanto (39). Berbeda dengan Sarudin, ia masih memiliki istri dan anak yang peduli kepadanya. Anaknya yang berumur 18 tahun telah bekerja sebagai buruh pabrik di Bekasi, Jawa Barat. Beberapa kali anaknya mengajak Rusdiyanto tinggal bersamanya, tetapi ia menolak. ”Saya tidak mau merepotkan anak saya,” ujar Rusdiyanto.
Ketika melihat bus jurusan Brebes melintas, rasa rindu Rusdiyanto untuk bertemu keluarganya semakin besar. Ia ingin berkumpul bersama keluarganya saat Lebaran. Keinginan itu pun harus dipendam karena tidak memiliki uang untuk pulang dan berlebaran di kampung halamannya.
Meskipun hidup mereka terasa berat dan melelahkan, mereka tetap memiliki harapan melalui doa. Rasa marah terhadap diri sendiri pun tetap dirasakan karena merasa gagal dalam hidup. Meskipun serba kekurangan, mereka tetap berusaha menjadi manusia yang berakhlak mulia.
”Kami tidak ingin merugikan orang lain dan berusaha selalu sabar menjalani hidup,” ujar Sarudin sambil menutupi tubuh kurusnya dengan sarung. Ia pun merebahkan tubuh yang hanya menyisakan tulang berbalut kulit tersebut sambil tersenyum berharap esok akan lebih baik dan masih dapat bertahan hidup.