JAKARTA, KOMPAS — Meski bukan seorang santri atau dibesarkan dalam keluarga penganut Islam yang kental, proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, memiliki wawasan yang mendalam soal Islam. Pemahaman Soekarno tentang Islam ia bawa ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang maju dan moderat.
Kolumnis Hamid Basyaib menyampaikan, Soekarno memiliki pemahaman yang mendalam soal Islam dan fikih di dalamnya. Fikih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum dan mengatur berbagai aspek kehidupan manusia.
Wawasan Soekarno atas Islam merupakan hasil pencarian dan pendalaman ilmu yang dilakukannya sendiri. Hal ini mengingat Soekarno bukanlah seorang santri atau seorang yang memiliki latar belakang keislaman kental.
Ibu Soekarno, yakni Ida Ayu Nyoman Rai, adalah perempuan Bali beragama Hindu yang kemudian menjadi mualaf. Meski beragama Islam, ayah Soekarno, Soekemi Sosrodihardjo, juga bukan seorang yang memiliki pengetahuan keislaman yang mendalam.
Ayah Soekarno cenderung berpandangan teosofi atau penggabungan antara doktrin filsafat agama dan mistisisme.
”Bung Karno menemukan dan mencari agama itu sendiri. Pemahaman Islam Bung Karno juga didorong oleh runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah di Turki yang telah berdiri kurang lebih selama 625 tahun,” ujar Hamid dalam diskusi bertajuk ”Wawasan Keislaman Bung Karno” di Megawati Institute, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah di Turki pada 1924 membawa gejolak untuk umat Islam. Pada saat itu, Bung Karno mulai berpikir dan mendalami tentang agama Islam yang bisa dibawa dalam konteks berbangsa dan bernegara.
”Pada tahun 1930-an, Bung Karno juga sering berdebat dengan M Natsir dan dari situlah ide-ide keislaman Bung Karno muncul. Ide-ide Bung Karno tentang keislaman seperti toleransi juga masih relevan sampai sekarang. Kerangka besar pemikirannya memang hadir dalam konteks kebangsaan,” tutur Hamid.
Sejarawan Bonnie Triyana menyebutkan, Soekarno cenderung membawa pemahamannya tentang Islam ke konteks kenegaraan ketika Indonesia merdeka atau saat ia telah menjadi tokoh politik.
”Soekarno membawa Islam ke konteks kebangsaan karena saat itu dalam proses membangun negara. Soekarno menyadari bahwa tidak ada agama selain Islam yang lebih sederhana dan rasional sehingga dapat membantu memajukan rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam,” ujar Bonnie.
Menurut Bonnie, berdasarkan catatan dan surat yang ditulis oleh Soekarno, umat Islam di Indonesia memiliki sejumlah permasalahan, seperti masih percaya terhadap takhayul. Selain itu, umat Islam juga dapat mengalami kemunduran karena mudah mengafirkan dan terkekang dalam berpikir.
”Bagi Bung Karno, Islam adalah progres dan Islam adalah kemajuan. Ini merupakan tulisan yang ada pada surat Soekarno kepada pemikir Islam radikal sekaligus teman berdebatnya saat itu, Ahmad Hassan,” ujar Bonnie.