Sukacita Gelombang Ketiga
Gelombang ketiga kopi yang dipopulerkan Trish Rothgeb, salah seorang penyangrai kopi dari Amerika Serikat sekitar 16 tahun lalu, dirayakan gembira di Jawa Barat. Kopi tidak sekadar diulik rasa, kreativitas pengolahnya pun menjadi bumbu penyedap pula.
Bermodal keuletan, petani lokal percaya diri mengekspor kopi secara mandiri. Kedai kopi yang bangga dengan kebun sendiri bermunculan. Koperasi dan kelompok tani bervisi hadir melindungi petani.
Di antara tiupan angin malam pancaroba awal 2018 di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, tekad kuat itu terlihat. Semangat 10 pekerja di tempat pengolahan kopi milik Wildan Mustofa, petani kopi dari Pangalengan, masih menyala.
”Ada 9 ton kopi untuk dikirim ke Inggris. Varietasnya Friensa. Persilangan beberapa varietas arabika ini terjadi di kebun saya di Gunung Halu, Bandung,” katanya.
Wildan memperlakukan beras kopi Friensa seperti bayi. Karung kemasan berbahan kain halus, bukan goni yang kasar. Setiap sudut bak truk bakal pengangkut kopi menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, diperiksa. Lantai bak truk bahkan dilapisi papan dan terpal, mencegah sobek memicu cacat pengiriman.
”Hubungan dengan pelanggan itu seperti suami-istri. Harus saling melayani dan terus dipertahankan,” ujar Wildan. Apalagi kepercayaan konsumen mancanegara tak datang instan. Tujuh tahun terakhir, ia banyak belajar tentang kopi dari nol. Mulai dari kebun di hulu hingga tata niaga di hilir.
Ia juga rajin menantang diri, rajin ikut uji cita rasa di beberapa negara dengan biaya sendiri. Hal itu dapat membuka komunikasi dengan konsumen beragam negara. ”Saya ingin terlibat menyusun kepingan kebangkitan kopi Jabar. Caranya memberikan beras kopi terbaik untuk dunia,” ujarnya.
Wildan tidak sendiri. Petani di Cikandang, Garut, juga percaya diri dengan kopi yang mereka tanam dengan cinta. Tahun ini, 42 ton kopi arabika berbuah kuning milik petani Cikandang diekspor ke Korea Selatan. ”Orang Korsel datang untuk uji cita rasa di Garut. Kopi koneng andalan kami memperoleh skor 86,97,” kata Uloh Sutarman, petani setempat.
Keberhasilan ini tak lepas dari kemauan petani membangun masa depan kopi lewat Koperasi Karya Mandiri, dimulai enam tahun lalu. Kini, koperasi beranggota 223 orang. Jumlah tanaman kopi yang dikelola berkisar 500-2.000 batang.
Mereka sepakat menerapkan penjualan satu pintu. Saling banting harga demi keuntungan instan tak ada lagi. Kemauan berserikat memuluskan kerja sama permodalan dengan salah satu bank nasional. ”Saat kebutuhan rumah tangga petani terpenuhi dan mampu merasakan harga panen lebih baik, petani bisa fokus menghasilkan kopi terbaik,” ujarnya.
Kawasan perkebunan Gambung, Desa Mekarsari, Kabupaten Bandung, yang jadi salah satu daerah awal kopi ditanam sebagai komoditas perkebunan tahun 1700, juga punya gairah serupa. Kejayaan kopi Gambung yang pudar pada tahun 1870-an, coba diangkat lagi di antara hamparan kebun teh.
Melalui Lembaga Masyarakat Dalam Hutan (LMDH) Desa Mekarsari, petani dibantu bercocok tanam, pemetikan, dan pencucian kopi yang baik. Sejumlah alat pascapanen bisa dipakai bersama untuk meningkatkan kualitas biji kopi. Javanero, perusahaan swasta yang fokus dalam pengembangan kopi, ikut mendampingi petani.
Sekretaris LMDH Mekarsari Dedi Darmadi mengatakan, penjualan kopi juga dikelola mandiri. Pengepul wajib membeli kopi petani dari LMDH. Tujuannya menghindari kopi petani dihargai terlalu murah. ”Seluruh data menyangkut kopi di Mekarsari ada di LMDH, misalnya data panen awal ataupun basis data panen secara keseluruhan. Sebanyak 20 persen dari penjualan dibagi untuk Perhutani, pendapatan desa, dan LMDH,” kata Dedi.
Kepala Desa Mekarsari Ferry Januar Pribadi juga menggagas anjungan tunai mandiri kopi yang bekerja sama dengan badan usaha milik desa (BUMDes). Nantinya, petani yang menjual kopi bisa memanfaatkan layanan ini. Uangnya langsung masuk ke rekening tabungan masing-masing. ”Pencairan rekening disesuaikan dengan kebutuhan petani. Apabila butuh kebutuhan pokok, BUMDes bisa menyediakannya. Harapannya, perputaran uang tetap ada di kawasan Mekarsari,” katanya.
Dengan mengusung merek Kopi Aing, Gani Rustendi (38) dan Evin Brenda (33) punya cara lain. Mereka membuka kebun kopi di Puntang, Kabupaten Bandung, ditanami sekitar 4.000 pohon sejak tujuh tahun lalu. Ada juga rumah sangrai dan kafe, yang menyediakan 70 racikan kopi, di Kota Bandung.
Penggarapan kebun, penyangraian sekaligus bukan sekadar mencari uang. Pola ini memudahkan kontrol mendapatkan biji terbaik. Mulai dari mengawal kualitas penanaman, evaluasi biji kopi, hingga meminimalkan kerugian akibat biji kopi
cacat saat digoreng.
Evin bertanggung jawab mengelola kafe. Semua kopi yang digunakan di Kopi Aing berasal dari Puntang. Evin pernah menimba ilmu tentang kopi di Italia selama setahun. Menurut dia, penting bagi barista mengetahui biji kopi yang akan dipakai. Apabila sekadar membeli, barista rentan tak tahu kualitas keseluruhan biji kopi. ”Hal itu akan memengaruhi rasa kopi, akan diminati atau tidak,” kata Evin yang kerap memberikan pelatihan gratis bagi calon barista.
Tidak hanya menjaga kualitas kopi saat diseduh, cara ini juga jadi modal memakmurkan kebun. Sebagian keuntungan digunakan membayar upah pekerja Rp 50.000 per hari, membiayai penanaman pohon pelindung, pemupukan, penyiangan, serta penjarangan daun dan ranting kopi. ”Selama tujuh tahun terakhir, kami percaya, saat kualitas di hulu terjaga, usaha di hilir bakal tanpa kendala. Jika kebun rusak, kopi tidak akan bertahan lama,” katanya.
Seperti kata Kahlil Gibran, pujangga yang penikmat kopi, ”Kerja adalah wujud nyata cinta. Jika tak dapat bekerja dengan cinta, maka tinggalkanlah kerja itu”. Perlahan, hal itu tetap dilakukan. Tak hanya dengan cinta, tetapi setia, penuh kreativitas, dan bahagia.