logo Kompas.id
UtamaBatubara Ancam Keberlanjutan
Iklan

Batubara Ancam Keberlanjutan

Oleh
Ichwan Susanto
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/rl0hQ8qUNbkcvmtsvmVmnhbnVLY=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F06%2F20180606ich-DSCN7047.jpg
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Ketergantungan kepada komoditas ekstraktif seperti batubara bisa membawa dampak buruk bagi masa depan pertumbuhan ekonomi daerah dan negara. Ini tampak dari hasil studi Article 33, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, dan Bappenas. Tampak para pembicara diskusi yang digelar Article 33, Rabu (6/6/2018) di Jakarta (dari kiri-kanan) Emanuel Bria (moderator), Ermy Ardhyanti (peneliti senior Article 33 Indonesia), Hendra Sinadia (Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia/APBI-ICMA), Joko Tri Haryanto (Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan), dan Togu Pardede (Kasubdit Geologi Mineral Pertambangan dan Panas Bumi, Direktorat Sumberdaya Energi Mineral Pertambangan Bappenas).

Kajian berbagai instansi menunjukkan tambang batubara menyisakan permasalahan pada masa depan daerah serta masyarakat sekitar lokasi tambang. Daerah penghasil agar kreatif mencari sumber pendapatan berkelanjutan lain.JAKARTA, KOMPAS— Ketergantungan terhadap komoditas ekstraktif seperti batubara mengancam keberlanjutan pembangunan, karena pertumbuhan perekonomian akan turun serta memicu berbagai masalah sosial. Daerah yang semula secara mandiri membiayai keuangan dari pendapatan tambang, kini tumbuh negatif.Hal itu terungkap di tiga kajian terpisah dilakukan Article 33 Indonesia, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Kajian itu ditampilkan dalam diskusi "Visi Batubara Nasional: Menimbang Produksi dan Dampak Lingkungan", Rabu (6/6/2018) di Jakarta. Kajian Article 33 Indonesia dari sisi produksi batubara menunjukkan 8.800-an izin usaha pertambangan (IUP) tak tercatat membayar pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Laporan Extractive Industries Transparency Initiative (Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif) 2015 menyebut, 123 perusahaan mineral batubara meliputi 93,61 persen dari total PNBP pertambangan."Dibandingkan keseluruhan IUP, KK (kontrak karya), dan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), jumlah ini amat sedikit dan dipertanyakan efektivitas besarnya izin dengan kontribusi pada pendapatan negara," kata Ermy Ardhyanti, peneliti senior Article 33 Indonesia.Data batubara tak sinkron antarinstansi. Beda data 9-14 persen antarkementerian terkait menyulitkan perencanaan. Pada 2007-2016 antara Asosiasi Batubara Dunia dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ada selisih data produksi 310 juta ton.Pada periode sama, selisih data ekspor antara Badan Pusat Statistik dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 432 juta ton, setara produksi batubara Indonesia setahun. Selisih ini memunculkan akumulasi PNBP tak terpungut pada periode ini Rp 10,9 triliun sampai Rp 23,7 triliun.[caption id="attachment_6298238" align="alignnone" width="720"] Kapal tongkang pengangkut batubara melintas di Sungai Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pertengahan April lalu, Penerimaan bea cukai di Kaltim-Kaltara pada kuartal pertama tahun 2018 naik hampir 100 persen dibanding periode yang sama tahun 2017. Mulai membaiknya harga batuabara menjadi salah satu faktornya.[/caption]Mutu airDari sisi sosial-ekonomi masyarakat akibat tambang di Kalimantan Timur, riset Ermy menunjukkan warga di sekitar area tambang menghabiskan waktu lebih lama mengumpulkan air minum. Dari nilai pendapatan 2015, nilai waktu terbuang ditaksir Rp 1,15 triliun per tahun, setara 0,01 persen produk domestik bruto (PDB).Selain itu, rumah tangga di area tambang memiliki biaya kesehatan lebih tinggi dan mutu air lebih buruk. Nilai moneter dari biaya implisit 0,024 persen dari PDB Indonesia.Joko Tri Haryanto, peneliti madya pada Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral, BKF Kemenkeu menyebut daerah pusat tambang yakni Sumatera dan Kalimantan awalnya berkapasitas fiskal kemandirian kuat membiayai Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Namun, prospek pertumbuhan ke depan turun seperti Kalimantan Timur pada 2010-2017 mengalami pertumbuhan negatif. "Lima besar daerah di Kalimantan dengan kemandirian tinggi, pertumbuhannya negatif. Senjakala tambang mulai terjadi," kata dia. Hal itu juga terjadi di Sumatera dan Sulawesi.

Lima besar daerah di Kalimantan dengan kemandirian tinggi, pertumbuhannya negatif. Senjakala tambang mulai terjadi.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000