Bisakah Mahkamah Agung Tetap Berwibawa Tanpa Artidjo?
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Citra Mahkamah Agung saat ini dinilai masih terwarnai oleh persona hakim tertentu, seperti mantan hakim agung yang telah pensiun Artidjo Alkostar. Hal ini menandakan bahwa secara kelembagaan, integritas lembaga pemegang kekuasaan kehakiman ini belum berkembang dan belum pulih sepenuhnya.
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan di Indonesia sempat mendapat citra negatif dari masyarakat karena penangkapan aparat pengadilan yang beruntun dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak 2012 hingga saat ini atau selama kepemimpinan Hatta Ali sebagai Ketua MA, terdapat 14 hakim dan 7 panitera pengganti terjerat kasus korupsi. Khusus pada 2016, tujuh hakim dan tujuh pegawai pengadilan ditangkap KPK.
Pakar hukum pidana, Nurul Ghufron, menyampaikan, citra MA saat ini masih terwarnai oleh sosok hakim agung seperti Artidjo Alkostar yang telah memasuki masa pensiun sejak 21 Mei lalu.
”Artidjo bagai karang bagi tegaknya hukum Indonesia khususnya di kalangan MA. Ini fenomena yang sulit dibantah bahwa sejak keberadaan Artidjo, MA menjadi berwibawa. Namun, beliau saat ini telah pensiun,” ujar Nurul saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (7/6/2018).
Dalam sejumlah perkara kasus korupsi yang ditanganinya, Artidjo dikenal tegas dan kerap memperberat hukuman untuk para koruptor.
Beberapa koruptor yang pernah diperberat hukumannya oleh Artidjo adalah mantan anggota DPR Angelina Sondakh dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Angelina Sondakh yang semula divonis 4,5 tahun diperberat menjadi 12 tahun penjara, sedangkan Anas yang semula divonis 7 tahun diperberat menjadi 14 tahun penjara.
”Kuatnya sosok Artidjo ini mengindikasikan bahwa secara kelembagaan, integritas MA belum berkembang dan belum pulih. Ini tantangan bagi MA ke depan bagaimana mengkreasikan integritas itu terbangun secara institusional, bukan secara personal,” tutur Nurul.
Gerbang untuk PK
Menurut Nurul, pensiunnya Artidjo sebagai hakim agung seakan menjadi menjadi gerbang terbukanya keringanan kasus untuk para terpidana, khususnya koruptor. Hal ini tidak terlepas dari sejumlah pengadilan yang menerima pengajuan perkara peninjauan kembali (PK).
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, misalnya, hingga kini telah menerima pendaftaran PK dari tiga terpidana korupsi, antara lain bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, dan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.
”Saya dengar banyak lagi terpidana yang sudah siap maju PK, termasuk yang dulunya tidak berani kasasi sekarang kembali akan berbondong-bondong untuk berkasasi. Jelas ini adalah indikator bahwa MA seperti kehilangan marwah,” ujar Nurul.
Juru Bicara MA Suhadi menyatakan, banyaknya terpidana korupsi yang mengajukan PK usai Artidjo pensiun tidaklah memiliki alasan yang relevan dan signifikan. Menurut Suhadi, jika narapidana kasus korupsi itu ingin mengajukan PK, seharusnya sejak dulu atau tidak perlu menunggu Artidjo pensiun.
Ketika perkara mereka diputus oleh Artidjo di tingkat kasasi, di tingkat PK tidak mungkin perkara mereka diperiksa Artidjo kembali. Oleh karena itu, ketakutan mengajukan PK saat Artidjo masih menjabat itu tidak beralasan. (Kompas, 6 Juni 2018)
Sosok pengganti
Saat ini, Komisi Yudisial masih berupaya mencari pengganti sosok hakim agung pengganti Artidjo. Komisi Yudisial hanya meloloskan dua orang sebagai calon hakim agung dalam rangkaian seleksi yang dilakukan sejak Oktober 2017.
Kedua calon yang diusulkan ke DPR tersebut yakni Abdul Manaf untuk mengisi kekosongan hakim agung di kamar agama dan Pri Pambudi Teguh di kamar perdata. Sementara posisi yang ditinggalkan Artdijo yaitu Ketua Kamar Pidana MA masih belum dapat dicari penggantinya oleh KY.
Nurul menyatakan, sikap Komisi Yudisial yang hanya meloloskan dua orang atau tidak menekankan kuantitas dalam merekrut calon hakim agung sudah cukup baik. Hal ini karena seorang hakim agung perlu mempunyai kualitas, integritas, dan bersih dari segala catatan kasus apa pun.
Menurut dia, merekrut hakim agung yang tidak berintegritas berdampak pada terpuruknya kembali reputasi dan kepercayaan MA dari masyarakat.
”Idealnya, hakim adalah personal yang terpercaya bahwa dalam setiap keputusannya tidak mungkin ada korupsi dan konspirasi di dalamnya. Pada saat Artidjo menjadi hakim agung, kepercayaan masyarakat mulai tumbuh bahwa hakim MA itu bersih dan berintegritas,” kata Nurul.