JAKARTA, KOMPAS — Serikat pekerja PT Garuda Indonesia akan mengumumkan jadi tidaknya mogok kerja pada pertengahan Juni 2018 agar tidak mengganggu arus mudik Lebaran. Jadi tidaknya mogok kerja bergantung pada diskusi yang akan dilakukan antara serikat pekerja, perusahaan, dan pemerintah.
Ketua Harian Serikat Karyawan Garuda Indonesia Tomy Tampatty, saat dihubungi, di Jakarta, Rabu (6/6/2018), mengatakan, jadi tidaknya mogok kerja akan dipastikan pada 19 Juni atau 20 Juni.
”Semua bergantung pada hasil diskusi di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman,” kata Tomy.
Mogok dipastikan akan terjadi ketika pembahasan tidak mencapai ketentuan yang disepakati. Namun, ia optimistis pemerintah kali ini akan mendengarkan tuntutan para pekerja.
Tomy menyatakan, serikat pekerja telah menyampaikan keluhan kepada pemerintah pada tahun 2017. Namun, keluhan itu tidak ditanggapi.
Akhirnya, pada 2 Mei 2018, Serikat Karyawan Garuda (Sekarga) dan Asosiasi Pilot Garuda (APG) merencanakan untuk mogok pada Juni ini. Mereka terdiri dari 1.300 pilot dan 5.000 kru Garuda. Aksi dipastikan tidak bertepatan dengan momen krusial para konsumen menjelang Lebaran.
Inti tuntutan mereka adalah agar direksi perusahaan diganti. Perusahaan dinilai menjaring pekerja profesional (professional hired/pro-hire) tidak sesuai peraturan. Perusahaan juga seharusnya mendidik pegawai yang telah ada ketimbang mencari tenaga kerja ahli dari luar.
Di sisi lain, direksi perusahaan dinilai tidak menerapkan manajemen perusahaan dengan tepat sehingga tingkat pelayanan dan kepercayaan konsumen semakin menurun. ”Terjadi banyak masalah, misalnya sering terjadi keterlambatan dan pernah ada pembatalan penerbangan,” ujarnya.
Serikat pekerja dijadwalkan akan bertemu dengan pemerintah pada Kamis, 7 Juni 2018.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia Pahala Mansury mengimbau, mogok kerja bukan merupakan solusi untuk memperbaiki kinerja perusahaan. ”Yang penting kita betul-betul fokus pada tugas dan pekerjaan masing-masing,” katanya.
Ia menekankan, kinerja perusahaan tidak terganggu akibat isu mogok yang akan dilakukan pekerja. Harga saham dinyatakan tidak bisa menjadi patokan penilaian kinerja perusahaan. Sejauh ini, keuangan Garuda dinyatakan dalam kondisi membaik.
PT Garuda Indonesia adalah perusahaan penerbangan milik negara yang dibentuk pada 31 Maret 1950. Dalam laporan perusahaan per Januari 2018, saham perusahaan dimiliki oleh negara sebesar 60,54 persen, PT Trans Airways 25,62 persen, dan publik 13,85 persen.
Bursa Efek Indonesia mencatat, nilai saham PT Garuda Indonesia (GIAA) turun sejak pengumuman mogok disampaikan pada 2 Mei 2018. Pada tanggal tersebut, nilai saham GIAA sebesar Rp 278 per saham. Hingga 7 Juni 2018, nilai saham GIAA turun menjadi Rp 248 per saham.
Kendati demikian, saham GIAA sebenarnya cenderung turun sejak 2015. Pada 23 Januari 2015 merupakan masa terakhir saham GIAA pernah bernilai Rp 600 per saham dalam tiga tahun terakhir.
Bentuk satgas
Upaya penyelesaian Konflik antara serikat pekerja dan PT Garuda Indonesia kali ini dimediasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Pemerintah membentuk satuan tugas (satgas) yang terdiri dari Kemenko Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian BUMN, dan Kantor Staf Presiden. Satgas tersebut diketuai Deputi I Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Purbaya Yudhi Sadewa.
”Satgas akan meminta pendapat asosiasi pekerja untuk justify masalah. Satgas akan memberi rekomendasi pada minggu pertama Juli kepada Kementerian BUMN,” tutur Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut meyakini, masalah yang muncul di antara pekerja dan perusahaan Garuda Indonesia bukan masalah serius. Masalah muncul hanya karena kurangnya komunikasi.
Pahala menambahkan, satgas tersebut juga akan mendengarkan pandangan dari perusahaan. Pembentukan satgas merupakan langkah nyata seluruh pihak untuk menemukan solusi masalah.