KPK Minta Tambahan Anggaran, DPR: Kasus Korupsi Besar Malah Jalan di Tempat
Oleh
Agnes Theodora
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah polemik mengenai masa depan pemberantasan tindak pidana korupsi akibat pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta tambahan anggaran sebesar Rp 171 miliar untuk meningkatkan program pemberantasan korupsi.
Dalam rapat dengar pendapat untuk membahas rencana kerja anggaran untuk RAPBN 2019 dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/6/2018) ini, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, pagu indikatif yang ditetapkan pemerintah untuk KPK pada 2019 lebih kecil daripada kebutuhan yang diajukan KPK.
”Ini lebih kecil dari yang awal kami ajukan, hanya terpenuhi 78 persen dari usulan awal,” kata Agus.
Adapun pagu indikatif anggaran KPK di RAPBN 2019 adalah Rp 813,45 miliar atau terpenuhi 78 persen dari usulan awal KPK sebesar Rp 1.046,3 miliar.
Pemenuhan anggaran yang tidak maksimal itu, menurut Agus, berdampak pada pengurangan anggaran program pemberantasan korupsi dari tahun sebelumnya. Jika anggaran program pemberantasan korupsi pada 2018 adalah Rp 250 miliar, anggaran pada 2019 berpotensi menurun ke Rp 209 miliar.
KPK pun meminta tambahan anggaran Rp 171 miliar untuk meningkatkan performa pemberantasan korupsi. Selain untuk program pemberantasan korupsi, juga untuk kebutuhan belanja pegawai KPK.
Kebutuhan anggaran itu juga untuk memenuhi target penanganan kasus yang meningkat dari target 100 kasus tahun ini menjadi target 200 kasus pada 2019 nanti.
”Jadi otomatis memang kami sangat berharap anggaran program pemberantasan korupsi dapat dinaikkan supaya performa meningkat,” kata Agus.
Menanggapi permintaan KPK itu, sejumlah anggota Komisi III berpandangan, DPR setuju anggaran KPK diperbesar, tetapi harus ada kejelasan mengenai prioritas kerja KPK. Mayoritas anggota pun menyoroti tingginya jumlah operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK belakangan ini. Sementara perkembangan penanganan sejumlah kasus besar yang lama dinilai cenderung berjalan di tempat.
”Memang di satu sisi OTT diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Akan tetapi, kan ternyata pada kenyataannya tidak begitu. Bukan berarti kami tidak setuju ada penangkapan, tetapi seharusnya bukan itu saja yang dikerjakan,” kata Nasir Djamil dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Arsul Sani dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan menambahkan, perlu ada pemaparan dari KPK mengenai berbagai kasus besar yang mengendap dan menarik perhatian publik yang perkembangan penanganannya lebih lambat daripada kasus-kasus OTT
”Jangan sampai inti capaian kinerja KPK adalah OTT saja,” kata Arsul.