Selama ini, setiap penumpang pesawat yang akan mendarat di Bandar Udara Internasional Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, selalu disuguhi pemandangan laut, petak-petak tambak, hamparan hutan mangrove, serta kelokan alur dua sungai. Namun, sejak Kamis (7/6/2018), bandara yang diresmikan Presiden Joko Widodo itu menyuguhkan bangunan bandara terapung di atas air.
Konstruksi bandara terapung tersebut didesain PT Portal Graha Matra Desain Indonesia (GMDI). Direktur PT Portal GMDI Benyamin Aris Nugroho mengemukakan, filosofi yang dikembangkan dalam pembangunan bandara baru Ahmad Yani adalah eco-green airport. Hal ini sangat relevan mengingat kondisi alam kawasan lahan baru di pantai utara sebelah barat Kota Semarang ini penuh tambak, rawa, dan kawasan resapan pantai.
”Saat ditunjuk sebagai penyusun desain bandara baru, kami tertantang mengupayakan bandara ini bisa beradaptasi dengan lingkungan. Konsepnya, menjadikan 80 persen bangunan bandara ini mengapung di atas ekosistem aslinya,” ujar Benyamin.
Kajian atas lingkungan di utara bandara lama itu, lahan yang tersedia lebih dari 120.000 meter persegi dengan tekstur tanah sangat lunak. Sebagian besar kawasannya berair, campuran air tawar dari sungai dan air laut di pesisir. Untuk itu, pihaknya menghindari penimbunan lahan karena berisiko. Selain biaya mahal, pemadatan lahan juga memakan waktu lama.
Benyamin menyebutkan, karena berada di atas air, bandara mesti ditopang tiang pancang. Tiang pancang yang diterapkan di lokasi berair adalah tiang pancang metode prefabricated vertial drain (PVD). Untuk mendapatkan kepadatan di lahan lunak itu, tiang pancang ditanam menembus bumi sedalam 40-50 meter.
Tim konstruksi proyek Bandara Ahmad Yani dari PT Angkasa Pura I, John Henri, menyebutkan, untuk mendapatkan kekuatan penuh menopang bangunan bandara berlantai empat itu, pihaknya menanam tiang pancang lebih dari 4.000 buah. Upaya tersebut melalui pengujian intensif dan kontinu untuk memastikan tidak ada penurunan lahan, terutama kestabilan tiang pancang di bangunan terminal.
Konsekuensi dari bandara terapung adalah menjaga kesegaran air di area dalam. Area dalam itu ialah air yang berada terpisah dengan air laut di rawa, tambak, ataupun pesisir pantai. Air di dalam kawasan bandara cukup luas, karena itu diperlukan penanganan khusus.
Benyamin menyatakan, terminal baru memiliki luas area 58.652 meter persegi, dengan hampir 60 persen berada di atas permukaan kolam dengan kedalaman 2-3 meter. Dengan begitu, kesegaran air harus terjaga agar tidak keruh atau berbau tidak sedap.
”Untuk itu, telah disiapkan divisi pengelolaan air (water management) yang andal. Divisi itu akan bekerja menangani air di dalam kolam atau di luar bandara, seperti air di rawa, tambak, ataupun kawasan resapan dekat bangunan. Kami tidak diperbolehkan mengambil atau menyedot air dari sungai atau air bawah tanah,” tutur Benyamin.
Air di dalam kolam ditangani dengan sistem daur ulang sehingga ekosistemnya terjaga. Untuk penanganan air di luar bandara, disiapkan teknologi reverse osmosis (RO). Sistem ini akan mengolah air di sekitar bandara, mulai dari air laut, air hujan, hingga air tambak, supaya menjadi bersih.
Menurut Benyamin, seluruh kebutuhan air di bandara sepenuhnya berasal dari pengolahan air laut. Meski begitu, bandara juga menyiapkan air bersih dari perusahaan daerah sebagai cadangan apabila dibutuhkan.