JAKARTA, KOMPAS - Titik temu belum dicapai antara pemerintah dan DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait masuknya sejumlah pasal di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ke Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KPK menilai masuknya beberapa pasal di UU Tipikor ke RUU KUHP bisa menimbulkan ketidakpastikan hukum.
”RUU KUHP ini masih dalam proses. Kalau di sana-sini masih ada perbedaan, itu lumrah saja. Saat ini kami mencoba untuk menyatukan pendapat guna mengatasi perbedaan,” kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Kamis (7/6/2018), di kantornya di Jakarta.
Kemarin, Wiranto memimpin rapat koordinasi terbatas untuk membahas masuknya sejumlah pasal di RUU Tipikor ke RUU KUHP. Hadir dalam rapat itu antara lain Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Arsul Sani mewakili Panitia Kerja (Panja) RUU KUHP dari DPR, Ketua Panja RUU KUHP dari pemerintah Enny Nurbaningsih, dan anggota Panja RUU KUHP dari pemerintah, Muladi.
Wiranto mengatakan, pembahasan RUU KUHP akan berlanjut dengan mencermati masukan dari kelompok intelektual, masyarakat sipil, dan lembaga terkait.
Adopsi
Pemerintah mengusulkan Pasal 2, 3, 5, 11, dan 13 UU Tipikor diadopsi di RUU KUHP. Pasal-pasal itu mengatur tentang bentuk korupsi berikut sanksinya, yaitu maksimal pidana penjara seumur hidup, 20 tahun penjara, atau pidana mati.
”Kami mempersilakan KPK untuk memastikan bahwa masuknya sejumlah pasal antikorupsi ke RUU KUHP itu tidak akan melemahkan KPK dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam tipikor,” kata Arsul Sani.
Enny Nurbaningsih mengatakan, masuknya sejumlah pasal di UU Tipikor ke RUU KUHP tersebut, tidak mengurangi sifat khusus dari UU Tipikor. Selain itu, juga tidak ada duplikasi dalam pengaturan pidana, yakni antara RUU KUHP dan UU Tipikor.
”Jika sudah dimasukkan ke RUU KUHP, pasal-pasal yang semula ada di UU Tipikor akan dicabut, atau tidak ada lagi. Dalam pasal penutup KUHP akan disebutkan, yang mulanya Pasal 2 Tipikor diganti dengan Pasal 629. Jadi, tidak ada duplikasi. Soal sanksi, itu akan dibahas kembali, mana yang ancaman hukumannya diturunkan, dan mana yang dinaikkan,” katanya.
Secara terpisah, Laode M Syarif menuturkan, KPK tidak puas dengan penjelasan pemerintah atas masuknya sejumlah pasal di UU Tipikor ke RUU KUHP. KPK menilai masuknya pasal-pasal itu tak tepat karena bisa menimbulkan ketidakpastikan hukum.
”Jadi, nanti (ketentuan) mana yang berlaku? Kata pemerintah yang berlaku UU Tipikor karena bersifat lex spesialis. Namun, ada juga asas hukum yang mengatakan bahwa aturan hukum yang baru mengesampingkan yang lama. Artinya nanti bisa menimbulkan dualisme, ketidakpastian hukum, dan menyulitkan kerja polisi, jaksa, KPK, dan pengadilan,” ujarnya.
Hal lainnya, ada sejumlah pasal di RUU KUHP yang ancaman hukumannya tidak setinggi, seperti di UU Tipikor. ”Itu beberapa contoh saja. Banyak pertanyaan fundamental lain yang belum bisa dijelaskan dengan baik oleh pemerintah,” kata Laode
Menurut Laode, memasukkan aturan tipikor ke RUU KUHP justru bisa memicu persoalan. (APA/AGE/REK/MHD)