JAKARTA, KOMPAS -— Data sejumlah dosen dan guru aparatur sipil negara yang dilaporkan sebagai pelaku ujaran kebencian masuk ke Badan Kepegawaian Negara. Data ini diambil dari data lapor BKN hingga Mei 2018.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan di Jakarta, Kamis (7/6/2018), menjelaskan, sedikitnya ada 14 aduan yang melibatkan ASN. ”Terlapor terbanyak berprofesi sebagai dosen ASN. Kemudian diikuti oleh PNS pemerintah pusat, PNS pemerintah daerah, dan guru,” katanya.
Aduan yang bermuatan penyebaran berita palsu dan ujaran kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang diterima Humas BKN disertai lampiran bukti berupa unggahan di media sosial.
Sejak imbauan BKN perihal ”Enam Aktivitas Ujaran Kebencian Berkategori Pelanggaran Disiplin ASN” dirilis 18 Mei 2018, BKN telah menerima sejumlah pengaduan masyarakat atas keterlibatan ASN dalam aktivitas penyebaran berita palsu (hoaks) dan ujaran kebencian.
Pemerintah buat regulasi
Sementara itu, Kamis, Presiden Joko Widodo menyatakan telah meminta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengkaji potensi penyebaran radikalisme di dunia kampus. Jika diperlukan, pemerintah akan membuat regulasi khusus menangkal radikalisme di perguruan tinggi.
”(Regulasi terkait radikalisme) baru dalam proses kajian oleh Kemristek dan Dikti. Akan tetapi, jika aturan diperlukan, akan kami buat,” ujar Presiden di sela-sela kunjungan kerja di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis.
Pernyataan itu disampaikan Presiden terkait penangkapan tersangka teroris di kompleks Kampus Universitas Riau, Pekanbaru, akhir pekan lalu.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia M Budi Djatmiko mengatakan, kalangan perguruan tinggi sepakat terorisme musuh bersama. Namun, langkah dan penanganannya di kampus sesuai instruksi Kemsistek dan Dikti, yakni harus kondusif-persuasif.
”Kemristek dan Dikti fokus saja membangun kesadaran kolektif memerangi terorisme. Caranya dengan menerapkan pola pendidikan yang terus memperhatikan kompetensi dan akhlak mulia. Bangun juga sinergi antara pemerintah, PT, dan orangtua,” ujar Budi.
Menurut Budi, pihaknya menolak jika Kemristek dan Dikti sibuk memantau media sosial dari jutaan mahasiswa dan ratusan dosen dalam upaya mencegah kampus dari radikalisme. Aturan pemantauan ini dinilai melanggar privasi dari para mahasiswa dan dosen. (ELN/IKI)