Industri Berbasis Daerah dan Berorientasi Ekspor Jadi Strategi Baru
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gejolak ekonomi dapat ditangkal melalui upaya peningkatan produktivitas industri, terutama yang berorientasi ekspor. Ini bisa dilakukan dengan menyusun strategi pengembangan industri berdasarkan keunggulan komparatif masing-masing daerah.
Indonesia masih rawan terkena gejolak ekonomi yang berujung pada krisis keuangan. Penyebabnya, Indonesia masih sangat tergantung dari pembiayaan dari luar negeri. Ketergantungan terhadap pembiayaan luar negeri menyebabkan fondasi perekonomian Indonesia menjadi rapuh. Hal itu karena investasi atau penanaman modal asing dalam bentuk portofolio sangat mudah berpindah ke luar negeri.
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta, Jumat (8/6/2018), mengatakan, rentannya perekonomian Indonesia juga dapat dilihat dari besarnya jumlah impor bahan baku dan bahan penolong untuk kebutuhan industri dalam negeri. Ia menyampaikan, sekitar 75 persen impor Indonesia berupa bahan baku dan bahan penolong.
Impor bahan baku tertinggi berupa bahan bakar dan pelumas dengan proporsi 46,80 persen, yakni minyak mentah. Adapun impor bahan penolong di antaranya mesin, pelat baja untuk industri otomotif, dan suku cadang pesawat terbang.
”Itu tidak hanya menekan neraca perdagangan, tapi juga menyebabkan devisa terkuras ke luar,” kata Arif ditemui di Jakarta.
Akibatnya, sejak 2012 Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan. Artinya, Indonesia mengalami defisit valuta asing. Selama ini, situasi itu ditutup aliran modal dari luar negeri. Namun, model ini rawan membuat nilai tukar rupiah tertekan karena gejolak keuangan di luar negeri.
Pada triwulan I-2018, transaksi berjalan defisit 5,542 miliar dollar AS. Nilai itu setara dengan 2,15 persen produk domestik bruto Indonesia. Pada triwulan I-2017, transaksi berjalan defisit 2,164 miliar dollar AS.
Untuk itu, Arif memandang penting dibangunnya industri antara atau intermediate industry. Industri antara bisa menekan keluarnya devisa karena memperkuat basis industri Indonesia sehingga menjadi lebih mapan dan tidak sepenuhnya tergantung dari impor bahan baku dan penolong.
Contohnya, pembangunan industri antara diwujudkan dengan cara pemerintah membangun kilang minyak. Dengan begitu, pemerintah hanya perlu mengimpor minyak mentah (crude oil) untuk diolah di Indonesia. Pengolahan minyak mentah di Indonesia berpeluang memberikan nilai tambah dan membuka lapangan pekerjaan. Upaya itu, kata Arif, juga dapat menghemat devisa hingga 30 persen.
Model pertumbuhan baru
Atas kondisi tersebut, Indonesia harus mencari model pertumbuhan ekonomi baru. Arif mengemukakan, salah satu caranya, strategi industri dikembangkan dengan berbasiskan kepada keunggulan komparatif di setiap daerah. Konsep itu dinamakan regional growth strategy.
Selama ini, Arif menilai kebijakan pemerintah belum sepenuhnya mengoptimalkan keunggulan komparatif di suatu daerah. Di sektor perikanan tangkap, misalnya, Maluku dan Papua memiliki keunggulan komparatif atas produk perikanan.
Namun, di kedua daerah tersebut industri pengalengan ikan masih sangat terbatas. Pada akhirnya, hasil tangkapan kemudian dibawa ke Jawa dan Bali untuk kepentingan ekspor. Model tersebut dinilai tidak efisien.
”Harusnya diolah langsung di wilayah tangkapan. Kalau untuk keperluan ekspor ke Australia, Jepang, atau Amerika Serikat juga lebih dekat kalau dikirim dari Indonesia Timur,” kata Arif.
Hal lain yang mesti dikerjakan untuk mendukung regional growth strategy adalah membangun logistik, memperkuat pelabuham, dan kebijakan afirmatif pembiayaan ke daerah. Kemudian, yang tidak kalah penting adalah menyiapkan sumber daya manusia dan mengajak pelaku usaha untuk berinvestasi.
Arif mengatakan, regional growth strategy merupakan upaya untuk mengedepankan industri rakyat atau industri menengah kecil. Industri-industri yang ada di daerah, seperti industri agro dan perikanan, merupakan industri kecil menengah yang basisnya ekspor (IKME). Pengembangan infrastruktur kemudian harus diarahkan untuk mengembangkan, memperkuat, dan melahirkan IKME baru.
”Jika regional growth strategy sukses, nanti efeknya adalah pemerataan pembangunan, ketersediaan tenaga kerja yang merata, kemudian berujung pada persebaran penduduk yang tidak lagi terkonsentrasi di Jawa,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berpendapat, investasi asing atau penanaman modal asing (PMA) di Indonesia cenderung meningkat.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat, realisasi penanaman modal di Indonesia sepanjang 2017 mencapai Rp 692,8 triliun. Dari jumlah tersebut, 62,1 persen atau Rp 430,5 triliun adalah PMA. Adapun penanaman modal dalam negeri (PMDN) hanya 37,9 persen atau sekitar Rp 262,3 triliun.
Namun, kata Enny, persoalannya adalah PMA tersebut tidak berkualitas. Disebut tidak berkualitas karena menghasilkan nilai tambah yang kecil. Hal itu karena kebanyakan PMA tidak masuk ke sektor riil, tetapi lebih banyak pada portofolio.
”Investasi portofolio tidak pernah menyentuh sektor riil sehingga tidak memperbaiki neraca perdagangan,” ujar Enny.
Oleh karena itu, pembiayaan melalui utang pemerintah atau investasi langsung perlu diarahkan masuk ke sektor riil yang mempunyai nilai tambah. ”Hal yang penting dari pertumbuhan ekonomi baru itu adalah produktivitas. Kuncinya adalah nilai tambah melalui industri pengolahan,” kata Enny.