INDRAMAYU, KOMPAS — Pemerintah mulai mengembangkan model korporasi usaha tani dalam skala kelompok besar berbasis digital melalui PT Mitra BUMDes Bersama. Kesejahteraan petani diharapkan meningkat karena 80 persen keuntungan korporasi diserahkan kepada petani.
”Beberapa kali saya sampaikan, petani tidak bisa dibiarkan sendiri. Memang ada kelompok tani atau gabungan kelompok tani. Tapi, ini tidak cukup. Harus lebih besar lagi. Kalau korporasi bisa besar, petani juga bisa,” ujar Presiden Joko Widodo saat meresmikan program kewirausahaan dan digitalisasi pertanian di Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Kamis (7/6/2018).
Hadir dalam acara itu Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Bupati Indramayu Anna Sophanah, dan lebih dari 1.000 petani.
Petani tidak bisa dibiarkan sendiri. Memang ada kelompok tani atau gabungan kelompok tani. Tapi, ini tidak cukup. Harus lebih besar lagi.
Menurut Presiden, saat ini, contoh korporasi petani ada di PT Mitra BUMDes Bersama (MBB) Sliyeg. PT MBB merupakan korporasi yang dikelola perkumpulan badan usaha milik desa (BUMDes) dan gabungan kelompok tani (gapoktan) setempat, bermitra dengan sejumlah BUMN.
Perkumpulan BUMDes dan gapoktan memiliki saham 49 persen dalam MBB. Selebihnya, saham BUMN. Meski demikian, 80 persen keuntungan korporasi diberikan kepada petani.
PT MBB akan mengurus mulai pratanam padi, pascapanen, hingga pemasaran. PT MBB akan membeli hasil panen petani dengan harga tinggi.
Pengolahan beras
Ada juga sentra pengolahan beras terpadu (SPBT) di lahan 3.700 meter persegi di Sliyeg. Kapasitas produksinya 2 ton per jam. Selain memiliki gudang beras berkapasitas 500 ton, SPBT menerapkan pengemasan beras untuk lebih mudah dipasarkan.
Fasilitas itu dapat dimanfaatkan 7.009 petani di Sliyeg. Sebanyak 2.993 petani memiliki kartu tani dan 1.158 petani telah mendapatkan penyaluran kredit usaha rakyat. Program itu akan dijalankan di sembilan kabupaten di Jabar, seperti Majalengka dan Karawang, dengan Indramayu sebagai percontohan.
Presiden mendorong petani bergabung dalam PT MBB agar bisa mendapatkan keuntungan lebih besar dengan memproduksi beras, bukan gabah.
”Kalau petani masih menjual gabah, sampai kapan pun tidak ada peningkatan kesejahteraan. Petani harus melewati hingga 5 mata rantai perdagangan, termasuk tengkulak. Keuntungan terbesar ada pada pascapanen dan penjualan beras,” ujarnya.
Kalau petani masih menjual gabah, sampai kapan pun tidak ada peningkatan kesejahteraan.
Presiden berjanji akan memantau model korporasi petani tersebut. ”Nanti saya akan lihat. Kalau petani yang bergabung ternyata tidak untung, tutup saja usaha ini. Sebaliknya, kalau bagus, model ini akan diterapkan di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Digitalisasi pertanian
Rini menegaskan, pihaknya juga mengembangkan digitalisasi pertanian. Data petani dan buruh bakal terekam dalam aplikasi logistik tani yang terhubung dengan sistem dinas kependudukan dan pencatatan sipil di daerah. Dengan aplikasi yang dapat diakses melalui gawai pintar, petani dapat mengakses bantuan dari pratanam hingga pascatanam.
Untuk proses pratanam, misalnya, petani dapat mengakses asuransi usaha tani dan KUR melalui PT Jasindo, PT Askrindo, dan Himpunan Bank Negara. Pada masa tanam, PT Pupuk Indonesia akan ikut mendampingi. Sementara penyimpanan hasil panen dan resi gudang dijalankan PT Pegadaian. Pada pascapanen, petani akan bersinergi dengan Perum Bulog.
”Kami akan terus mendampingi petani,” kata Rini.
Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Indramayu Sutatang mengapresiasi program kewirausahaan dan digitalisasi pertanian yang dicanangkan pemerintah. Namun, ia melihat masih ada sejumlah program yang dinilai kontradiktif dalam peningkatan kesejahteraan petani.
”Rencana pemerintah menurunkan harga eceran tertinggi beras, misalnya, bisa menekan harga gabah di petani. Selama ini, bukan petani yang menentukan harga, tetapi tengkulak,” ujar Sutatang.