Penguatan Indonesia Sustainable Palm Oil antara lain mensyaratkan legalitas. Hal ini menjadi tantangan bagi kebun-kebun rakyat yang berada di dalam kawasan hutan. Meski pemerintah telah menerbitkan berbagai regulasi sebagai solusi, perlu diuji implementasinya di lapangan.
JAKARTA, KOMPAS — Penguasaan lahan di dalam kawasan hutan oleh masyarakat menjadi tantangan dalam pelaksanaan Minyak Sawit Indonesia Berkelanjutan atau ISPO yang mensyaratkan legalitas. Di lapangan, kasus penguasaan lahan ini kompleks yang sulit diselesaikan dalam waktu cepat.
Dibutuhkan terobosan agar penguatan ISPO yang sedang dikerjakan pemerintah bisa menjembatani penyelesaian legalitas ini. Dari sisi regulasi, pemerintah memiliki solusi penguasaan lahan dalam kawasan hutan melalui Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2018.
Regulasi ini memberi pilihan penyelesaian melalui tanah obyek reforma agraria (TORA), perhutanan sosial, dan kemitraan. Namun menurut Wiko Saputra dari Yayasan Auriga Nusantara, Kamis (7/6/2018), perpres berlaku untuk "ketelanjuran" di kawasan hutan untuk permukiman, fasilitas sosial/umum, lahan garapan, dan hutan adat.
"Definisi lahan garapan ini tidak jelas. Kami tunggu (aturan teknis) dari Kemenko Perekonomian juga tidak ada. Padahal ketelanjuran banyak di sawit," kata dia di sela-sela diskusi terbatas Kaoem Telapak di Jakarta.
Dari sisi definisi kebun rakyat, pemerintah juga memiliki dua penafsiran. Kementerian Pertanian berpandangan kebun rakyat memiliki luas kurang dari 25 hektar (tidak perlu izin usaha budidaya), sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berpandangan kebun rakyat kurang dari jumlah tersebut.
Definisi ini penting mengingat penyelesaian ketelanjuran bagi pekebun besar di kawasan hutan adalah melalui penegakan hukum setelah dilihat historis penguasaannya.
Studi kasus Wiko di perkebunan sawit di Kampung Tepian Buah, Berau, Kalimantan Timur, menunjukkan 204 bidang lahan seluas 730 ha kebun masyarakat berada di kawasan hutan. Apabila diselesaikan dengan mekanisme perhutanan sosial, resistensi juga bisa muncul karena aturan main perhutanan sosial hanya bisa memberikan toleransi sawit hingga usia tanam 12 tahun (masa produktif sawit). Sementara dari kemitraan pun tak mudah untuk menemukan titik temu dengan pemegang izin usaha pengelolaan hasil hutan alam, Inhutani II.
"Tanpa upaya pemerintah dalam penyelesaian konflik sawit rakyat di kawasan hutan, maka sistem sertifikasi ISPO tidak bisa dilaksanakan. Butuh terobosan," kata dia.
Tanpa upaya pemerintah dalam penyelesaian konflik sawit rakyat di kawasan hutan, maka sistem sertifikasi ISPO tidak bisa dilaksanakan. Butuh terobosan.
Draft perpres
Ditemui terpisah usai menjadi pembicara dalam Diskusi Publik Sustainable Palm Oil Update yang diselenggarakan WWF Indonesia, Ketua Tim Kerja Penguatan ISPO Diah Y Suradiredja mengatakan, mekanisme teknis terkait ISPO diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian.
Ia mengatakan draft peraturan presiden terkait penguatan ISPO berada di Menteri Koordinator Perekonomian. "Dalam waktu dekat akan dipaparkan Menko ke Presiden," kata dia yang juga penasehat senior Yayasan Kehati.
Draft perpres, kata dia, mengamanatkan pengaturan lebih teknis melalui Permentan terkait tata kelola, prinsip dan kriteria, dan sanksi. Pada bagian prinsip dan kriteria ini dimungkinkan untuk diharmonisasikan dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bersifat sukarela/permintaan pasar.
Lebih lanjut, Diah mengharapkan instrumen dalam ISPO bisa dijalankan bersama-sama. Tujuannya sebagai langkah baik Indonesia dalam memperbaiki tata kelola sawit yang kerap menempatkan kebun sawit sebagai sumber deforestasi.
"Satu saja, selesaikan sawit di kawasan hutan maka negara-negara lain akan mengakui bahwa kita memiliki usaha serius. Otomatis akan memunculkan keberterimaan pasar," kata dia.
Selesaikan sawit di kawasan hutan maka negara-negara lain akan mengakui bahwa kita memiliki usaha serius. Otomatis akan memunculkan keberterimaan pasar.
Diah mencontohkan pengalaman Indonesia dalam membela kayu dan produk kayu dari isu pembalakan liar melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Dari sistem ini pula, kata dia, instrumen ISPO juga mewadahi keberadaan pemantau independen.
Dalam diskusi publik kemarin, muncul pertanyaan terkait sanksi bagi pekebun yang tak mengikuti ISPO karena bersifat wajib sejak tahun 2014. Pemberian sanksi dinilai penting sebagai pelecut bagi pekebun untuk menjalankan ISPO.
Prasetyo Aji, perwakilan Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian menyebutkan pekebun yang mengajukan sertifikasi ISPO umumnya terkendala di legalitas. Sejak ISPO dijalankan pada tahun 2014, sejumlah 600 - 700 perusahaan sawit dari total 1.600 perusahaan sawit di Indonesia, telah mendaftarkan untuk mengikuti sertifikasi.
Dari jumlah itu, 342 perusahaan mendapatkan sertifikat. Sementara hanya 4 kebun masyarakat yang mendapat sertifikat.