YOGYAKARTA, KOMPAS—Kebudayaan dapat menjadi jawaban dari formalisme agama yang terkesan menegaskan perbedaan. Kebudayaan bersifat menembus ruang perbedaan yang bisa menumbuhkan spiritualitas sebagai landasan substansial dalam beragama.
Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Abd A’la menyampaikan, kemajemukan sudah menjadi ciri bagi bangsa Indonesia. Namun, seiring dengan menguatnya formalisme agama, perbedaan yang ada terkesan digunakan untuk memisahkan satu sama lain.
“Perbedaan itu ada untuk memperkaya. Agama tidak boleh hanya dipahami secara formal karena itu justru memperjelas sekat perbedaan. Hal yang penting adalah bagaimana spiritualitas dalam beragama itu dimunculkan, karena itu dapat menyatukan perbedaan,” kata A’la, dalam kelompok diskusi terarah “Mufakat Budaya Indonesia”, di Hotel Tentrem, Yogyakarta, Jumat (8/6/2018).
A’la menjelaskan, agama dan budaya itu benar-benar hidup bersama sehingga agama mengalami kontekstualisasi. Hal itu bisa menumbuhkan spiritualitas karena tujuan yang ingin dicapai adalah bagaimana dapat hidup dengan baik bukan membeda-bedakan kelompok.
Hal serupa diungkapkan oleh sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Baskara T Wardaya. Ia mengatakan, spiritualitas menjadi sangat penting dalam kehidupan beragama. Hal itu merupakan dimensi kedalaman dalam kehidupan beragama.
“Kalau kita bicara soal agama, tidak cukup hanya masalah formalitas, tetapi juga sisi kedalaman. Sisi kedalaman ini adalah sisi spiritualitas yang menjadi dimensi substansialnya. Jika kita menekankan spiritualitas sebagai bangsa, perbedaan tidak menjadi masalah. Itu malah menyatukan dan memperkaya,” kata Baskara.
Sementara itu, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Agus Sunyoto mengatakan, bangsa Indonesia memiliki kebudayaan yang kolektif. Hal itu harus terus dijaga dan tidak boleh tercerabut sebagai akar budaya bangsa. Identitas nasional sebagai bangsa yang beragam harus benar-benar dipegang teguh.
“Kebudayaan kita ini erat dengan kebersamaan dan tidak individualis. Ini memupuk semangat persaudaraan yang hidup di masyarakat,” kata Agus.
Koordinator Mufakat Budaya Indonesia Radhar Panca Dahana menyampaikan, perbedaan adalah sebuah keniscayaan bagi Indonesia. Hal itu telah hidup dan menjadi akar budaya bagi bangsa ini sejak lama.
“Pluralitas itu adalah keniscayaan bagi Indonesia. Kita hidup dalam realitas multikultural. Adat dan agama yang terintegrasi itu merupakan sebuah kenyataan. Kebudayaan multikultural harus menjadi pedoman hidup bangsa,” kata Radhar.
Ia menjelaskan, kebudayaan harus dijadikan pedoman karena memiliki sifat yang lentur dan dapat menjadi ruang dialog bagi orang-orang yang memiliki beragam latar belakang. Dalam kebudayaan, perbedaan itu saling berkomunikasi dan mengisi celah yang membentuk bangsa yang utuh.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Bali Ida Pengelingsir Agung Putra Sukahet menyatakan, bangsa ini perlu menekankan lagi persaudaraan sebangsa dan setanah air. Hal itu menjadi arah dari Pancasila yang merupakan perjanjian bangsa ini untuk mempersatukan Indonesia.
“Pancasila adalah perjanjian bangsa. Indonesia yang beragam ini sepakat untuk bersatu dengan Pancasila. Itu tidak bisa diganggu gugat. Rasa persaudaraan sebangsa dan setanah air perlu kita tekankan lagi,” ujarnya. (NCA)