Korban kekerasan seksual di SDN Tugu 10 Depok diperkirakan masih akan bertambah. Keterbukaan dari siswa dan orangtua diharapkan dapat membuat kasus ini terungkap terang benderang.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS - Kepada polisi, Wa (24) mengaku melakukan kekerasan seksual terhadap 13 siswa laki-laki di SDN Tugu 10 Depok. Beberapa korban mengalami kekerasan hingga berulang kali.
Kepala Kepolisian Resor Kota Depok Komisaris Besar Didik Sugiarto, Jumat (8/6/2018), mengatakan, Wa mengaku melakukan kekerasan seksual sesama jenis kepada anak didiknya di SDN Tugu 10 sejak tahun 2016. Kekerasan seksual itu dilakukan Wa kepada setidaknya 13 korban.
"Ke-13 korban ini sudah teridentifikasi menjadi korban dari Wa," ujar Didik.
Di SDN Tugu 10, Wa menjadi guru honorer untuk mata pelajaran Bahasa Inggris, pengelola perpustakaan, dan wakil pembina pramuka.
Didik menambahkan, kekerasan seksual itu dilakukan Wa di beberapa tempat di sekolah di antaranya perpustakaan, ruangan kelas, dan di luar lingkungan sekolah yaitu kolam renang.
Saat melakukan kekerasan seksual, Wa mengiming-imingi korban dengan nilai baik di mata pelajaran Bahasa Inggris. Wa juga mengancam korban agar tidak memberitahukan kejadian itu kepada orang lain. Jika korban mengadu, nilai Bahasa Inggris akan dibuat jelek.
"Ada (korban yang mengalami kekerasan seksual) sekali, ada yang empat kali, ada yang lima kali, dan seterusnya," kata Didik.
Didik juga membenarkan bahwa pelaku mengaku pernah menjadi korban kekerasan seksual saat dia duduk di kelas V SD. Diduga kekerasan seksual itu dilakukan oleh kakak kelasnya. Wa juga mengaku kerap dirundung saat masih kecil karena tingkah lakunya yang menyerupai perempuan.
Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) Dhanang Sasongko yang datang ke Polres untuk melakukan penilaian (assessment) terhadap pelaku, mengatakan, Wa mengaku melakukan kekerasan seksual salah satunya karena didorong perasaan balas dendam dan trauma masa lalu.
Kondisi semakin didukung karena sehari-hari dia berinteraksi dengan anak-anak. Apalagi, dia juga mendapatkan kepercayaan dari pihak sekolah untuk menjadi wakil pembina pramuka dan pengelola perpustakaan sehingga aksesnya untuk bertemu anak-anak lebih intens.
Perlu melapor
TM (38), orangtua salah satu korban, mengatakan, orangtua korban lain harus lebih terbuka dan mau memberikan kesaksian demi masa depan anaknya.
"Setahu saya kemarin korbannya ada 15 orang. Sekarang dia (Wa) mengakunya 13 orang. Jangan-jangan ada korban lain yang belum terungkap," katanya.
Menurut TM, anak yang menjadi korban sangat membutuhkan bantuan dari psikolog anak untuk pemulihan dari trauma. Selain itu, keterbukaan dari anak dan orangtua juga dapat membuat kasus pidana ini semakin terang benderang.
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, korban akan ditangani sesuai dengan level trauma yang mereka rasakan. Ia khawatir korban yang sudah terpapar kekerasan seksual berkali-kali sudah mencapai level kecanduan (adiktif).
"Kami akan petakan sesuai dengan kebutuhan anak. Yang jelas, baik korban maupun pelaku harus mendapatkan terapi psikososial," kata Arist.
Arist juga akan berkomunikasi dengan Wali Kota Depok untuk lebih konsen dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada anak. Pasalnya, Depok selama ini menggunakan slogan kota ramah anak. Sekolah yang menjadi lokasi kejadian ini pun juga berstatus sebagai sekolah ramah anak. Namun, justru ironis program-program kota dan sekolah ramah anak tidak pernah terlihat aksi nyatanya.
"Sebagai warga Tapos, Depok, saya tidak pernah melihat aksi nyata program Kota Layak Anak. Mengingat tingginya kasus kekerasan seksual pada anak, Depok harus lebih konsen terhadap hal ini," kata Arist.
Kepala Dinas Perkembangan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok Eka Bachtiar akan menjamin pemulihan trauma korban kejahatan seksual di SD Negeri 10 Tugu. Dari total empat korban yang melapor ke Polres Depok, tiga korban telah mengikuti tes psikologis. Adapun program konseling akan dimulai setelah libur Lebaran.