DEPOK, KOMPAS - Pemulihan kondisi psikis korban kejahatan seksual di SD Negeri 10 Tugu, Cimanggis, Depok, Jawa Barat menjadi prioritas. Mata rantai kejahatan seksual harus segera diputus dengan menjamin korban pulih dari trauma secara tuntas.
Kepala Dinas Perkembangan Anak, Pemberdayaan Masyarakat, dan Keluarga (DPAPMK) Kota Depok Eka Bachtiar di Depok, Jumat (8/6/2018), mengatakan, akan menjamin pemulihan trauma korban kejahatan seksual di SD Negeri 10 Tugu. Dari total empat korban yang melapor ke Kepolisian Resor Kota Depok, tiga korban telah mengikuti tes psikologis. Adapun program konseling akan dimulai setelah libur Lebaran.
"Kami menjamin pemulihan trauma korban hingga tuntas," kata Eka.
Menurut Kepala Bidang Tumbuh Kembang dan Pengembangan Kota Layak Anak DPAPMK Yulia Oktavia, pada korban dalam kondisi trauma yang beragam. Mulai dari trauma ringan, sedang, hingga berat.
Oleh karena itu, metode yang diterapkan dan waktu pemulihan yang dibutuhkan juga berbeda. Selepas konseling secara rutin, orangtua diminta untuk lebih aktif mengawasi perkembangan psikis anak. Jika mereka terindikasi mengingat kembali peristiwa kejahatan seksual, orangtua dapat menghubungi pihak Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), lembaga yang berada di bawah koordinasi DPAPMK.
Eka menambahkan, selain korban, orangtua korban juga akan diberikan layanan konseling. Orangtua korban cenderung mengalami trauma yang sama dengan anak-anaknya. P2TP2A menyediakan tiga psikolog anak dan satu psikolog dewasa.
"Kami juga akan memberikan konseling kepada tersangka kejahatan seksual, Wa (24)," ujar Eka. Dia menambahkan, Wa merupakan korban kejahatan seksual serupa ketika masih kelas 5 SD. Pengalaman dan trauma yang tidak diberitahukan dan ditangani dengan serius membuat Wa ingin balas dendam kepada anak-anak.
Namun, konseling yang diberikan P2TP2A masih mengandalkan inisiatif warga. Eka mengatakan, pihak pemerintah menunggu warga datang terlebih dulu. Belum ada program pendekatan yang dimulai dari pemerintah kepada para korban.
TM (38) orangtua siswa SD Negeri 10 Tugu, salah satu yang menjadi korban kejahatan seksual mengatakan, akses untuk menjangkau layanan konseling dari P2TP2A semestinya dibuat lebih mudah. Layanan konseling baru mereka dapatkan setelah mendapatkan rekomendasi dari kepolisian.
TM juga berharap, konseling dilakukan hingga korban benar-benar pulih. "Kami ingin mata rantai kejahatan seksual itu bisa diputus, sehingga korban tidak akan menjadi pelaku di masa depan," ujar dia.