Rumah Dodol Terakhir di Serpong
Hawa panas menguar di dapur beralas tanah itu, Rabu (6/6/2018). Arang terbakar di tiga lubang kompor tanah, memanaskan tiga wajan Ilustrasi: besar adonan dodol betawi yang diaduk. Berkah Ramadhan di Cilenggang, Tangerang Selatan.
Hampir pukul 11.00, proses pembuatan dodol di industri rumahan dodol betawi Ibu Iyu ”Titi Mugi Jaya” memasuki gelombang kedua. Gelombang pertama dimulai pukul 01.00 hingga tujuh jam kemudian. Satu wajan tembaga besar (kenceng) menghasilkan 60 kilogram dodol betawi.
Rabu lalu itu hari pertama mereka memproduksi dodol 10 kenceng dalam beberapa gelombang. Artinya, hari itu bakal menghasilkan 600 kilogram dodol betawi. Sehari sebelumnya, mereka memasak lima kenceng sekali produksi.
”Kalau hari biasa, kami hanya menjual 180 kilogram dodol betawi yang habis sepekan. Memasuki minggu kedua bulan puasa, pesanan setiap hari paling sedikit 300 kilogram dan empat hari sebelum Lebaran habis terjual,” kata Jemy (45), mandor produksi. Satu kilogram dodol betawi mereka jual Rp 46.000.
Menurut Jemy, seluruh proses memproduksi dodol betawi membutuhkan waktu 6,5 jam. Awalnya, santan dari 60 kelapa dimasukkan ke kenceng panas. Seusai diaduk satu jam tanpa henti, tepung beras ketan 21 kg dimasukkan dan diaduk, kemudian ditambahkan blondo (Jawa: ampas minyak kelapa) secukupnya untuk menambah rasa gurih. Dua jam kemudian dimasukkan 24 kg gula merah dan gula putih. Adonan diaduk lagi selama 3,5 jam.
”Setiap seperempat jam, pengaduk adonan berganti orang. Hari biasa kami cuma butuh dua orang. Itu pun bekerja sepekan sekali. Tapi, pekan kedua Ramadhan, kami butuh 10 tenaga pengaduk,” katanya. Untuk tenaga pembungkus, mereka butuh enam orang.
Meniti zaman
Industri rumahan dodol betawi di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, itu terhitung belum lama tumbuh. Secara umum mulai marak tahun 2000. Dodol betawi Ibu Ayu mulai beroperasi pada 1995.
Makanan bertekstur kenyal berasa manis itu mendampingi camilan khas betawi lainnya,
seperti kue kembang goyang dan kue akar kelapa.
Penerus usaha dodol betawi Ibu Ayu, Asep Jaya (37), bercerita, sebelum tahun 2000-an, pada pekan terakhir Ramadhan, sesuai dengan tradisi Betawi, seluruh keluarga di Serpong membuat dodol betawi.
Saat awal ibunya membuka usaha, jualan ibu Ayu kurang laku. Maklum, sebagian keluarga di Serpong bisa membuat dodol betawi. ”Di pengujung puasa, biasanya semua keluarga mulai membuat dodol betawi. Sehari menjelang Lebaran, dodol bersama kue-kue Betawi lain terhidang di meja tamu,” tutur Asep.
Warga membuat dodol betawi secara bergantian. Mereka saling meminjam kenceng. ”Makanya, bikinnya bergantian,” ujarnya.
Kala itu, dodol betawi hanya dibuat untuk kebutuhan keluarga menyambut kedatangan sanak saudara dan tetangga pada hari raya. ”Jadi, enggak dijual. Hanya untuk konsumsi sendiri. Mereka umumnya membuat 30 kg dodol betawi. Seusai Lebaran, dodol yang masih ada dibagikan ke tetangga,” ucap Asep.
Lalu, mengapa surut? Karena buat kalangan petani, modal membuat dodol betawi tergolong besar. Biayanya terhitung mahal. Selain itu, sebagian lahan sawah dan kebun kelapa mereka sepetak demi sepetak menjadi kawasan permukiman.
Sebelumnya, para petani bahkan menyempatkan diri menanam padi jenis ketan, bahan pokok pembuatan dodol betawi, sebelum Lebaran. Adapun untuk santan, mereka tinggal memetik kelapa yang banyak tumbuh di ladang mereka. Jadi, ongkos pembuatan dodol relatif murah dari sisi rupiah.
Seiring dengan berkurangnya lahan dan semangat kepraktisan, pembuat dodol industri rumahan pun memanfaatkan peluang. ”Beberapa warga mulai menjual kenceng yang biasa mereka gunakan untuk membuat dodol betawi ke ibu saya. Mereka bilang, Lebaran mendatang lebih baik membeli dodol betawi di ibu saya. Bisa beli secukupnya sesuai jumlah tamu yang datang,” ujar Asep di rumahnya di Jalan Cilenggang I RT 004 RW 002, Cilenggang, Serpong.
Kini, di Serpong, tinggal Ibu Iyu yang menjual dodol betawi. Tak heran jika usaha rumahan itu paling populer. Bahkan, ”Ibu Atut (mantan Gubernur Banten), sering memesan dodol betawi buatan kami. Beliau mengatakan, produk kami harus menjadi standar produk dodol betawi di Banten,” katanya. Ujung-ujungnya, lanjut Asep, Atut meminta Ibu Iyu menjadi penyuluh pembuatan dodol betawi di lingkungan Banten.
Pejaten Timur
Apabila usaha komersial dodol betawi di Serpong baru menggeliat setelah tahun 2000-an, tidak demikian di Jakarta. Bisnis kuliner rumahan itu mulai berkembang awal tahun 1980.
Meski usaha ini bertebaran di Jakarta, tinggal kawasan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang masih ramai sebagai ”kampung dodol betawi”. Tepatnya di Jalan Damai.
Sebut saja rumah produksi dodol betawi Ibu Maryam di
Jalan Damai RT 008 RW 005, lalu Dodol Betawi Sari Rasa
Ibu Yuyun di Jalan Damai Baru RT 099 RW 004, atau dodol betawi Wan Salmah di Jalan Damai II.
Di Jakarta Barat ada dodol betawi Ibu Sunnah di Jalan Panjang Cidodol RT 010 RW 004, Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk. Di Jakarta Timur ada Ibu Mamas yang membuat dodol betawi di Jalan Batu Ampar I, Condet, RT 013 RW 004, Batu Ampar. Setiap menjelang Lebaran, Mamas mampu menjual 100 kenceng dodol betawi setiap hari. Itu setara dengan 6 ton dodol betawi setiap hari.
Mereka umumnya mencampur garam dalam adonan dodol betawi, berbeda dengan dodol buatan Ibu Iyun di Serpong. ”Kami tidak mencampur garam dalam adonan dodol betawi kami, tetapi blondo,” kata Asep.
Ada sejumlah cara menyajikan dodol betawi. Namun, salah satu yang disarankan sama dengan cara menyajikan kue keranjang (Nian Gao), dodol China yang banyak disantap saat Tahun Baru China. ”Dodol betawi yang disukai orang Betawi itu justru yang mengeras, seperti halnya kue keranjang. Biasanya yang sudah mengeras dicampur adonan telur kocok, lalu digoreng,” katanya.
Ya, sebagai produk budaya, satu jenis kuliner memiliki sejarah panjang. Melihat tampilan serta tekstur dodol betawi dan kue keranjang memang mirip. Salah satu bedanya, rasa manis pada kue keranjang dihasilkan dari gula pasir, bukan gula merah. Bisa jadi mengunyah dodol betawi—yang masih bertahan—adalah mencecap akulturasi budaya China dan Betawi. (KUM)