Kisah Manusia Gerobak dan Kehidupannya
Riyan (35) berbaring di samping anak perempuannya, Maria Ester (1) yang berada dalam pelukan istrinya, Dewi (18). Mereka tidur beralaskan terpal plastik di dekat gerobaknya.
Wajah Riyan dan Dewi terlihat sayu. Mereka mengaku, sudah tiga hari belum makan. “Uang hasil mulung buat beli susu anak dulu,” tutur Riyan sambil tersenyum saat ditemui di trotoar Jalan Kunir, Taman Sari, Jakarta Barat, Kamis (7/6/2018) dini hari.
Mereka bertiga tinggal di gerobak sehingga sering disebut manusia gerobak. Riyan bekerja sebagai pemulung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sejak kecil, Riyan tinggal di jalanan sekitar Cengkareng, Jakarta Barat. Ia tidak pernah belajar di sekolah formal dan tidak dapat membaca, serta menulis. Namun, ia mampu berbahasa Inggris. Kemampuannya tersebut diperoleh ketika menjadi pemandu wisata di Bali pada tahun 2004.
Setelah kembali ke Jakarta, nasib buruk menimpanya. Ia dituduh terlibat dalam kasus narkoba sehingga harus mendekam di penjara. Setelah dibebaskan, ia menikah dan tinggal di kawasan Kebun Sayur, Jakarta Utara.
Pada 2017, rumah kontrakannya terbakar sehingga seluruh surat-surat penting yang dimiliki seperti Kartu Tanda Penduduk dan Surat Pernikahan, serta barang-barang yang dimiliki hangus.
Semenjak peristiwa itu, Riyan tinggal di gerobak bersama Dewi yang sedang mengandung anaknya. Situasi tersebut membuat Riyan kebingungan karena tidak memiliki biaya untuk persalinan. Ia meminta pertolongan ke berbagai rumah sakit dan dinas sosial, tetapi ditolak dengan alasan tidak memiliki KTP dan surat nikah.
Dengan alat seadanya, Dewi pun melahirkan seorang anak perempuan. Oleh seorang turis mancanegara, anak tersebut diberi nama Maria Ester. Turis tersebut juga memberikan telepon genggam kepada Riyan yang masih ia simpan hingga sekarang.
Sebagai seorang yang sejak kecil dibesarkan di jalanan, Riyan tidak mengalami banyak kesulitan untuk bertahan hidup. Ia mandi, buang air besar, mencuci baju di kali dekat tempat tinggalnya. Ia mengandalkan botol plastik untuk merebus air.
Segala aktivitas dilakukan Riyan di gerobak berukuran 2,5 meter x 1,5 meter, termasuk berhubungan badan. “Kami biasa melakukannya ketika hujan dan gerobak kami tutup dengan terpal sehingga orang tidak mempedulikan,” ujarnya.
Riyan menegaskan, akan berusaha menjaga anaknya dengan segala kemampuannya. Ia berharap anaknya dapat sukses. Meskipun memiliki keterbatasan karena luka cacat di tangannya akibat sebuah perkelahian, Riyan masih memiliki harapan suatu saat dapat menjadi seorang motivator.
Mandiri
Bagi keluarga yang tinggal di gerobak, kemandiran menjadi hal utama yang mereka perjuangkan. Mereka tidak mau dianggap pengemis yang menggantungkan hidup pada orang lain seperti yang ditegaskan Yongki (50).
Ia hidup di gerobak bersama dengan istrinya, Ningsih (48) dan anaknya, Alvin (7) di Jalan Matraman Raya, Jakarta Timur. Beberapa kali orang tua mereka meminta untuk tinggal bersama. Namun, mereka tetap bersikukuh ingin hidup mandiri. Mereka mendapatkan pemasukan dengan menjadi pemulung.
Dalam sehari, Yongki mendapatkan pemasukan sekitar Rp 50.000. Mereka gunakan uang tersebut untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Alvin. Ningsih menuturkan, mereka memasak nasi sendiri agar biaya makan lebih murah. “Kami hanya makan lauk tahu dan tempe setiap hari,” tuturnya.
Yongki menceritakan, ia terpaksa hidup di gerobak karena rumahnya telah dijual oleh orang tuanya. Uang penjualan rumah tersebut telah habis. Ia pernah mengontrak rumah di Bekasi, Jawa Barat, tetapi telah digusur oleh pemerintah sehingga terpaksa kembali tinggal di gerobak.
Sebelum menjadi pemulung, ia bekerja sebagai petugas kebersihan. Bahkan, anak pertama hingga ketiga tidak mengetahui jika ia bekerja sebagai pemulung. Ketiga anaknya tersebut telah tinggal bersama orang tua Ningsih di Cirebon, Jawa Barat.
“Meskipun saya pemulung, semua anak saya sekolah, bahkan anak pertama saya kuliah di Bandung, Jawa Barat,” ujar Yongki dengan rasa bangga. Yongki dan Ningsih memiliki keinginan menjadi pedagang makanan serta minuman. Saat ini, mereka belum memiliki modal untuk membuka usahanya tersebut.
Meskipun tinggal di gerobak, Yongki dan Ningsih tidak mau menjalani aktivitas tanpa terkontrol. Mereka mandi, buang air besar, dan cuci baju di toilet umum. Ketika ingin berhubungan badan, mereka pulang ke rumah orang tua Yongki di Bekasi.
Kesulitan terberat yang dialami Ningsih, yaitu ketika Alvin mengadu karena dihina temannya di sekolah. Ningsih pun mulai menitikkan air mata ketika mengingat anak laki-lakinya tersebut meminta sesuatu, tetapi ia tidak mampu memberikannya.
“Saya selalu berusaha memberikan pengertian kepada anak saya untuk bersabar dan berdoa,” tutur perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur tersebut.
Keinginan untuk mandiri juga ditekankan Warlinah (30). Ia masih bekerja menata barang bekas yang telah dikumpulkannya hingga dini hari. Ia masih melepas tutup gelas plastik air mineral dan membersihkan kotoran.
Bau busuk tercium tajam dari barang bekas yang dikumpulkan bersama suaminya, Abidin (45). “Saya baru selesai mengumpulkan barang bekas jadi dirapiin dulu,” tutur perempuan asal Senen, Jakarta Pusat tersebut saat dijumpai di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Beberapa kali Warlinah mengusap matanya yang sudah sayu. Gumpalan debu terlihat jelas memenuhi wajahnya yang terlihat lebih tua dari umurnya. Ia membersihkan botol plastik sendirian, sedangkan suaminya sudah terlelap di samping gerobaknya dengan beralaskan kardus bekas.
Gerobak berbahan seng dan kayu tersebut masih terlihat kokoh. Warlinah menuturkan, gerobak tersebut dibelinya seharga Rp 150.000. Gerobak berukuran 1 meter x 2 meter tersebut digunakan Warlinah untuk menyimpan barang bekas yang dikumpulkannya, sedangkan ia dan suaminya tidur di samping gerobaknya.
Kadang-kadang mereka tidur di teras toko, halte, atau trotoar. Termasuk berhubungan badan pun dilakukan di tempat tersebut. Warlinah tidak merasa risi karena sudah terbiasa. Sementara itu, untuk keperluan mandi, buang air besar, dan mencuci baju, ia lakukan di toilet umum.
Warlinah menceritakan, ia terpaksa menjadi manusia gerobak karena tidak memiliki uang untuk menyewa kos. “Dalam sehari, penghasilan saya tidak menentu. Terkadang Rp 40.000 sampai Rp 100.000 dan sudah habis untuk makan sehari,” tutur perempuan lulusan sekolah dasar tersebut.
Saat memulung, Warlinah harus berusaha menghindari kejaran petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) agar gerobaknya tidak disita. Ia mengaku tidak memiliki keterampilan khusus dan hanya bisa memulung.
Warlinah menuturkan, beberapa saudaranya ingin membantu perekonomian keluarganya. Namun, ia menolak karena ingin hidup mandiri.
Sejak kecil di gerobak
Tidak jauh dari tempat Warlinah, Edi (51) bersama istrinya, Solekah (60) duduk di depan halte Kanisius. Ia menikmati hiruk pikuk kota Jakarta berdua. “Kami sedang istirahat setelah tadi selesai menjual barang bekas,” tutur Edi.
Berbeda dengan Warlinah, Edi menggunakan gerobaknya sebagai tempat barang bekas pada pagi hingga sore hari dan tempat tinggal pada malam hari. Pada pagi hari, ia bersama istrinya berkeliling mencari barang bekas seperti botol plastik dan kardus. Ia menjual kepada pengepul sebesar Rp 2.200 per kilogram. Rata-rata penghasilannya per hari sebesar Rp 50.000.
Setelah mendapatkan uang, Edi menitipkan gerobak di salah satu halaman rumah warga. Ia harus membayar Rp 7.000 per malam sebagai uang penitipan. “Saya takut ditangkap petugas Satpol PP jadi saya titipkan saja,” ujarnya.
Mereka berdua berasal dari Kampung Rawa, Jakarta Pusat. Sejak kecil mereka tinggal di gerobak dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal karena tidak memiliki biaya. Selain sebagai pemulung, Edi pernah bekerja sebagai tukang becak, ojek pangkalan, dan karyawan bengkel reparasi alat pendingin ruangan. Ia kehilangan pekerjaannya karena bengkel tersebut tutup.
Karena tidak memiliki modal uang dan keterampilan lain, ia pun kembali menjadi pemulung. Apabila memiliki modal, Edi berharap dapat menjadi penjual kopi keliling.
Mereka berdua terbiasa menghabiskan waktu berdua hingga dini hari. Setelah mengantuk, mereka kembali ke gerobaknya. Mereka menutup gerobak dengan menggunakan plastik sebagai atap agar tidak kehujanan dan terhindar dari nyamuk.
Edi menuturkan segala aktivitas pada malam hari dilakukan di gerobaknya, termasuk berhubungan badan. Mereka telah dikaruniai satu anak dan tiga cucu. Anaknya juga tinggal di gerobak bersama keluarganya, tetapi terpisah dengan Edi. Mereka tinggal di Kampung Rawa.
Di sepanjang Jalan Kramat Raya terdapat belasan manusia gerobak yang tinggal di pinggir jalan. Meskipun sama-sama berprofesi sebagai pemulung, mereka tidak mengenal satu sama lain secara akrab. Mereka tidak memiliki alat dapur sendiri karena tidak memiliki ruang untuk menyimpannya.
Pemulung
Sebagian besar orang yang tinggal di gerobak bekerja sebagai pemulung. Mereka bekerja masing-masing, bahkan terkesan saling bersaing satu sama lain.
Ujang (49) menuturkan, setiap pemulung sering berebut untuk mendapatkan barang bekas sebanyak-banyaknya. Namun, apabila ada pemulung yang memiliki pelanggan di suatu kompleks perumahan, maka pemulung lain tidak berani memasuki wilayah tersebut, kecuali pemulung baru yang belum tahu.
“Masing-masing pemulung juga harus menjaga gerobaknya masing-masing karena ada beberapa kejadian gerobak hilang diambil pemulung lain,” tutur pria asal Kuningan, Jawa Barat saat ditemui di Jalan Saharjo, Tebet, Jakarta Selatan tersebut. Ujang dan istrinya, Lastri (38) pun bergantian menjaga gerobak agar tidak diambil orang.
Tidak semua pemulung dan membawa gerobak tinggal serta beraktivitas di gerobaknya. Ujang tinggal di gubuk dekat pintu air Manggarai, Jakarta Selatan. Namun, ia masih menyewa motel di Tanah Abang atau Jatinegara seharga Rp 150.000 per malam jika ingin berhubungan badan dengan istrinya karena tempat tinggalnya hanya berukuran 2 meter x 2 meter.
Begitu pula dengan keluarga Robi (35) saat ditemui di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Ia tinggal bersama dengan istrinya, Cut (28), dan Trisia (2), anaknya. Sementara anak pertamanya, Agam (7) tinggal bersama orang tua Robi di Pangandaran, Jawa Barat.
Mereka mengontrak kamar ukuran 2 meter x 3 meter sebesar Rp 200.000 per bulan. Cut mengatakan, penghasilannya seminggu sekitar Rp 250.000 hingga Rp 350.000. Uang tersebut digunakan untuk membeli susu, kebutuhan sehari-hari, dan sewa kontrakan.
Mereka yang tinggal di gerobak atau para pemulung memiliki banyak keterbatasan, khususnya terkait dengan masalah ekonomi. Namun, mereka selalu berharap dapat hidup lebih layak dan menginginkan keturunannya dapat hidup dengan lebih baik.