Menjaga Kewarasan Bermedia Sosial Sejak Dari Pikiran
Menyikapi perkembangan paham radikalisme di kampus, pekan lalu Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menegaskan perlunya pengawasan di kampus dengan mendata profil semua anggota perguruan tinggi, termasuk mencatat nomor telepon dan akun media sosial mereka. Hal itu karena generasi muda rentan terpapar paham radikalisme melalui media sosial.
”Setiap dosen harus mencatatkan nomor telepon yang aktif. Selain itu, semua mahasiswa harus mencantumkan nama akun media sosial yang digunakan. Itu bertujuan memonitor lalu lintas informasi yang mereka lakukan,” kata Nasir (Kompas, Selasa, 5 Juni 2018).
Pertanyaan berikutnya adalah mampukah pemerintah mengawasi satu per satu individu sivitas akademika di seluruh Indonesia?
Data Statistik Pendidikan Tinggi 2017 yang disusun Kemenristek dan Dikti menunjukkan, jumlah mahasiswa terdaftar di Indonesia menyentuh angka 6.924.511 orang atau 21 persen lebih banyak dibandingkan penduduk Singapura. Sementara jumlah dosen di seluruh provinsi di Indonesia mencapai 247.269 dosen.
Selanjutnya, siapa yang akan menyisir mereka satu per satu dan dengan perangkat apa pengawasan itu akan dilakukan? Dua hal ini akan sulit sekali dijawab.
Media sosial menjadi layanan terfavorit kedua setelah chatting atau percakapan paling banyak diakses masyarakat pengguna internet di Indonesia. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia 2017 mencatat 89,35 persen masyarakat Indonesia sering chatting dan 87,13 persen suka bermedia sosial.
Euforia publik menikmati aneka macam fasilitas internet benar-benar tak bisa dibendung. Hal itu merupakan era baru yang tak bisa dilawan atau dihadang.
Setiap orang kini makin mudah berkomunikasi di mana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun.
Di sinilah titik paling rawan generasi muda kita yang merupakan pengguna internet paling aktif karena penyaluran berita-berita bohong atau hoaks dan ujaran kebencian sebagian besar melalui media sosial.
Aku yang maha benar
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta menyebut, dunia kini memasuki era pasca-kebenaran. Di era ini, hal yang terpenting bukan lagi kebenaran dan fakta obyektif, melainkan opini terkait emosi dan keyakinan personal. ”Banjir informasi terjadi dan tidak ada penjaga gawang untuk menyaring informasi, untuk menyaring mana yang benar dan tidak benar,” ucapnya.
Banjir informasi terjadi dan tidak ada penjaga gawang untuk menyaring informasi, untuk menyaring mana yang benar dan tidak benar.
Banjir informasi terjadi dan tidak ada penjaga gawang untuk menyaring informasi, untuk menyaring mana yang benar dan tidak benar.
Konteks global saat ini diwarnai dengan perubahan-perubahan besar. Beberapa perubahan itu antara lain surutnya pengaruh agama, berkembangnya ilmu pengetahuan atau rasionalisme, kapitalisme media cetak sebagai pembangun komunitas, seperti disebut indonesianis, almarhum Ben Anderson.
Selain itu, dunia menghadapi meningkatnya konservatisme agama, maraknya pengetahuan populer melalui media sosial, fenomena generasi muda berswafoto, hingga fenomena ultranasionalisme, xenofobia, dan terorisme transnasional.
Dalam situasi seperti ini, media sosial justru menjadi pembelah masyarakat. Semua orang berlomba-lomba meneruskan pesan anonim, mengulang
apa yang sudah dikirim orang tanpa sempat menelaah kebenarannya.
Banyak pihak akhirnya ”bermain” di tengah hiruk pikuk serta euforia publik dalam bermedia sosial. Potret tersebut terlihat jelas dalam hasil survei Masyarakat Telematika (Mastel) tahun 2017 yang memeringkatkan jenis-jenis hoaks paling sering diterima, meliputi antara lain sosial politik (91,80 persen), isu suku, agama, dan ras atau SARA (88,60 persen), dan kesehatan (41,20 persen).
Memulai dari hulu
Melihat masifnya aktivitas masyarakat bermedia sosial, pengawasan di hilir dengan mengamati satu per satu individu seperti yang akan dilakukan Kemenristek dan Dikti merupakan kemustahilan.
Sebagai perbandingan, Lembaga Sensor Film (LSF) yang bidang pengawasannya lebih sempit, hanya pada film, acara televisi, dan iklan, saja kewalahan memantau satu per satu konten. Sebab, berbagai konten kini makin kencang berseliweran tidak hanya di layar bioskop dan televisi, tetapi juga di layar-layar gawai yang kian privat.
Kapasitas sumber daya manusia serta peralatan LSF yang sangat terbatas tidak mampu menyaring serbuan konten perfilman, acara televisi, dan
iklan yang tiap hari membombardir ruang-ruang privat masyarakat melalui perangkat internet.
”Berapa ribu film yang harus kami pelototi setiap hari? Apalagi, sekarang teknologi informasi semakin canggih. Alat dan waktu kami tentu tidak akan mampu menjangkaunya,” ucap Ketua Komisi I Penyensoran dan Dialog LSF Imam Suhardjo.
Berapa ribu film yang harus kami pelototi setiap hari? Apalagi, sekarang teknologi informasi semakin canggih. Alat dan waktu kami tentu tidak akan mampu menjangkaunya.
Selama tahun 2017, pihak LSF menyensor sekitar 46.000 materi berupa film-film di bioskop, acara televisi, iklan, dan sebagainya. Jumlah itu belum termasuk film-film yang beredar secara masif melalui media streaming, media sosial, dan aneka platform digital lain. Lalu, siapa yang bertanggung jawab mengawasi itu semua?
Karena itu, LSF gencar mempromosikan gerakan sensor mandiri kepada para pelaku industri perfilman dan masyarakat. Pengawasan konten-konten film, televisi, dan iklan tidak cukup dilakukan pada sisi hilir, tetapi harus dimulai dari hulu.
Strategi serupa juga mesti diterapkan pemerintah dalam mengajak masyarakat bermedia sosial secara sehat dan bertanggung jawab. Kepala Biro Multimedia Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rikwanto memberikan sejumlah tips sederhana cara menangkal peredaran berita-berita bohong atau hoaks dengan 4C, yaitu cermati, cek, cari, dan cepat.
Hal pertama yang mesti dilakukan saat seseorang menerima informasi di media sosial adalah mencermati kesinambungan antara judul dan isinya, etika penggunaan bahasanya, serta waktu kejadian. Setelah mencermati, penerima informasi mesti mengecek apakah informasi itu datang dari sumber media yang dipercaya atau justru abal-abal, mengecek aktualitasnya, serta keaslian fotonya.
Bersikap kritis
Untuk membangun tradisi kritis dalam bermedia sosial, masyarakat mesti membiasakan mencari perbandingan berita dan tidak mudah percaya pada satu sumber saja. Klarifikasi juga bisa ditempuh dengan meminta pertimbangan atau membandingkan informasi yang beredar dengan klarifikasi yang dikeluarkan forum atau lembaga antihoaks.
Pencarian perbandingan informasi mesti dilakukan dengan cepat agar sisi kebenaran berita atau informasi bisa segera dibuktikan dan tidak telanjur tersebar apabila hal itu ternyata hoaks atau berisi ujaran-ujaran kebencian. Munculnya forum atau lembaga antihoaks di masyarakat amat membantu publik dalam mencari rujukan terhadap segala macam informasi yang mereka dapatkan.
Dunia berubah pesat, perkembangan teknologi tak bisa dibendung lagi. Karena itu, pemerintah akan makin sulit mengawasi satu per satu aktivitas warganya dalam memanfaatkan teknologi yang selalu berubah itu.
Satu hal yang mendesak dilakukan adalah mengedukasi masyarakat untuk melek bermedia sosial dan bertanggung jawab dalam menerima, membuat, atau menyebarkan informasi apa pun di media sosial. Hari Media Sosial yang diperingati setiap tanggal 10 Juni menjadi momentum tepat untuk menggalakkan edukasi kepada masyarakat bermedia sosial atau literasi digital.
Jika kewarasan bermedia sosial sudah muncul sejak dari pikiran, peredaran berita palsu, ujaran kebencian, dan propaganda gerakan radikal akan sulit merajalela di media sosial.
(ALOYSIUS BUDI
KURNIAWAN)