JAKARTA, KOMPAS — Teh Indonesia masih belum menjadi primadona layaknya kelapa sawit dan kopi kendati teh merupakan minuman favorit kedua di dunia setelah air putih. Produktivitas teh masih belum optimal, sedangkan luas lahan perkebunan semakin menyusut.
Teh adalah minuman yang paling sering dikonsumsi oleh dunia setelah air putih berdasarkan artikel dari situs Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Teh diperkirakan telah dikonsumsi sejak 5.000 tahun silam. Namun, potensi produktivitas teh Indonesia jauh lebih kecil daripada produk andalan lainnya, seperti kelapa sawit dan kopi.
Penasihat senior dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu (9/6/2018), mengatakan, hal itu terjadi akibat perang dagang komoditas agrikultur antarnegara eksportir sehingga pemerintah lebih memperhatikan kepala sawit dan kopi. Padahal, teh juga memiliki potensi yang cukup besar.
Dalam data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, potensi produktivitas teh Indonesia hanya 177.664 ton dari luas areal 113.692 hektar. Sementara jumlah produksi teh cenderung turun selama beberapa tahun, yakni 154.369 ton pada 2014, 132.615 ton pada 2015, 138.935 ton pada 2016, dan 139.362 ton pada 2017.
Sebagai perbandingan, jumlah produksi sawit secara keseluruhan adalah 37,8 juta ton tandan buah segar pada 2017 dari potensi sebesar 89,5 juta ton dengan luas areal 14 juta hektar. Sementara jumlah produksi kopi sebesar 668.667 ton dari potensi sebesar 2,79 juta ton dengan luas areal 1,26 juta hektar.
Ketua Konfederasi Petani Teh Kecil Internasional (Conferedation of The International Tea Smallholders/CITS), konfederasi yang berada di bawah koordinasi FAO secara langsung, Rachmat Badruddin, menambahkan, teh tidak dapat menjadi primadona layaknya kelapa sawit dan kopi karena potensi produktivitasnya menurun.
Hal itu, ujarnya, karena luas lahan perkebunan teh menyusut 3.000 hektar per tahun. Luas perkebunan teh pada 2014 sekitar 118.899 hektar, tahun 2015 mencapai 114.891 hektar, dan pada 2016 sekitar 113.617 hektar. Kendati data dari Kementan menyebutkan luas perkebunan teh naik sedikit menjadi 113.692 hektar pada 2017.
Penyusutan lahan itu terjadi karena pemilik perkebunan rakyat tidak lagi menanam teh, tetapi tanaman lain, seperti sayur mayur dan kopi, selama beberapa tahun terakhir.
Lahan perkebunan teh Indonesia dibagi menjadi tiga, yakni perkebunan negara, swasta, dan rakyat. Dari total seluruh perkebunan, 45 persen lahan perkebunan teh di Indonesia merupakan perkebunan rakyat.
”Teh dilihat tidak layak dipertahankan karena petani cenderung menanam tanaman yang bisa dipanen dalam tiga bulan. Lama-lama teh Indonesia bisa menjadi sejarah,” kata Rachmat.
Rachmat menambahkan, harga teh di pasaran termasuk rendah sehingga merugikan petani, yaitu 1,5 dollar AS per kilogram. Sementara nilai jual teh dari negara lain, Sri Lanka misalnya, mencapai 4 dollar AS per kilogram. Nilai jual teh Indonesia harus diupayakan naik setidaknya mencapai 3 dollar AS per kilogram.
Teh memiliki berbagai kelebihan. Tanaman teh ramah dengan lingkungan karena karena akarnya dalam sehingga menahan air serta menyerap banyak tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja melalui perkebunan teh diterapkan oleh Kenya, India, Sri Lanka, dan China.
Staf Departemen Penguatan Organisasi Konsorsium Pembaruan Agraria, Ferry Widodo, mengatakan, lahan perkebunan teh tergerus akibat pembangunan properti di beberapa wilayah perkebunan, selain karena peralihan penanaman jenis tanaman. ”Banyak kebun teh sudah menjadi area perumahan ataupun vila,” ujarnya.
Berdayakan petani rakyat
Gunawan menyatakan, produksi teh untuk ekspor dilakukan oleh perusahaan perkebunan teh, sedangkan untuk konsumsi dalam negeri diproduksi oleh petani rakyat. ”Jadi, yang perlu diberdayakan segmen petani rakyat,” ujarnya.
Ia membandingkan, pemerintah sementara menggalakkan produksi kopi premium untuk konsumsi masyarakat menengah ke bawah. Perlakuan yang sama seharusnya juga diterapkan pada teh.
Masalah yang masih dihadapi oleh petani rakyat dari segi praktik adalah kepemilikan tanah, pola kemitraan untuk produksi teh, akses permodalan, dan pemasaran. Sementara dari segi norma, belum ada regulasi perlindungan dan pemberdayaan petani perkebunan.