Deteksi Anti-Pancasila di Kampus
Semua perguruan tinggi harus setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setia pada Pancasila sebagai ideologi negara. Para rektor diminta mendeteksi radikalisme.
JAKARTA, KOMPAS— Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir meminta para pemimpin perguruan tinggi mendeteksi dosen atau mahasiswa yang terindikasi terpapar radikalisme dan intoleransi.
”Kami bersikap tegas agar perguruan tinggi melarang radikalisme dan intoleransi berkembang di kampus,” kata Nasir di Jakarta, Minggu (10/6/2018)
Nasir mengatakan, dirinya menerima laporan sejumlah dosen yang diduga terkait radikalisme maupun intoleransi. Pemimpin perguruan tinggi diminta memastikan pendataan dosen/mahasiswa yang terkait radikalisme secara serius.
”Sikap kami jelas. Dosen atau mahasiswa yang tidak mau setia kepada NKRI dan Pancasila, ya, silakan keluar. Sebelumnya diberi kesempatan untuk menentukan sikapnya. Kami mendukung pimpinan perguruan tinggi yang bertindak tegas di kampus masing-masing,” ujar Nasir.
Pernyataan Nasir sejalan dengan tindakan yang dilakukan pimpinan Univesitas Gadjah Mada, pekan lalu. Dua dosen UGM akan dinonaktifkan sementara dari jabatan struktural yang mereka emban karena diduga menolak Pancasila sebagai ideologi negara.
”Kedua dosen tersebut berasal dari fakultas teknik. Mereka akan segera dinonaktifkan sementara dari jabatan struktural yang mereka emban saat ini,” kata Kepala Bagian Humas dan Protokol Universitas UGM Iva Ariani, Minggu, di Yogyakarta.
Iva menjelaskan, pada Jumat (8/6), kedua dosen tersebut telah dipanggil untuk bertemu dengan pimpinan UGM, Senat Akademik UGM, dan Dewan Guru Besar UGM. Dalam pertemuan itu, pimpinan UGM berdialog dan mendengarkan penjelasan dari kedua dosen terkait dengan pandangan mereka tentang Pancasila.
Setelah pertemuan itu, Iva mengatakan, masalah tersebut akan diserahkan kepada Dewan Kehormatan Universitas. Nantinya, Dewan Kehormatan Universitas akan memberi rekomendasi kepada pimpinan UGM terkait persoalan tersebut. ”Rekomendasi yang diberikan oleh Dewan Kehormatan Universitas akan menjadi pertimbangan utama bagi pimpinan universitas untuk mengambil langkah selanjutnya,” kata Iva.
Untuk menjamin kelancaran proses di Dewan Kehormatan Universitas, UGM akan menonaktifkan sementara kedua dosen tersebut dari jabatan struktural mereka. Penonaktifan sementara itu akan dilakukan segera setelah surat resmi masuk ke Dewan Kehormatan Universitas.
Iva memaparkan, dari dua dosen yang diduga menolak Pancasila itu, satu di antaranya menjabat sebagai kepala departemen, sementara yang lain menjabat kepala laboratorium. Namun, saat ini keduanya masih tetap sebagai dosen UGM.
Sebelumnya, Rektor UGM Panut Mulyono mengatakan, UGM siap memberikan sanksi kepada sivitas akademika yang terbukti melanggar aturan. Namun, sebelum sanksi diberikan harus ada bukti kuat tentang pelanggaran aturan.
”Sanksi itu harus jelas dasarnya, misalnya kode etik dosen, kode etik mahasiswa, dan kode etik pegawai. Ketika itu nyata ada yang dilanggar, ya, kami beri sanksi,” ujar Panut.
Panut menambahkan, UGM siap memeriksa dosen yang diduga aktif di organisasi kemasyarakatan (ormas) yang telah dibubarkan pemerintah. Pemeriksaan itu antara lain untuk mencari tahu apakah mereka masih aktif di ormas tersebut setelah adanya pembubaran secara resmi oleh pemerintah.
Panut menuturkan, UGM mendapat informasi dari beragam sumber, termasuk Badan Intelijen Negara, terkait dosen yang diduga aktif sebagai anggota ormas yang telah dibubarkan pemerintah. ”Kami juga mendapat masukan dari dosen lain,” ujarnya.
Langkah Undip
Sebelumnya, Pimpinan Universitas Diponegoro, Semarang, telah menindak tegas seorang guru besar yang diduga terindikasi radikalisme. Terduga yang melakukan tindakan tersebut dicopot dari jabatan strukturalnya selama menjalani pemeriksaan dan sidang kode etik.
Sejauh ini Undip baru mencopot sementara Guru Besar Fakultas Hukum Suteki dari jabatannya sebagai Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum.
Kepala Unit Pelaksana Tugas Humas Undip Nuswantoro tidak memungkiri dugaan adanya dosen atau staf lain yang melakukan tindakan serupa.
”Dalam tiga tahun terakhir, baru kasus Prof Suteki yang masuk ranah sidang kode etik. Terduga lain mungkin ada, tetapi perilaku mereka tidak terekspos sehingga belum diketahui,” katanya.
Surat pencopotan Suteki dari jabatannya telah ditandatangani Rektor Undip Yos Johan Utama dan berlaku per 6 Juni 2018.
(HRS/KRN/ELN/DVD)
.
..
.
.
.
.
.
.
.
.Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir menegaskan tidak mentolerir perguruan tinggi terlibat dalam aksi mendukung radikalisme, terorisme, maupun intoleransi. Semua perguruan tinggi harus setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila sebagai ideologi negara, UUD 45 sebagai dasar Negara, dan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika. "Kami bersikap tegas agar perguruan tinggi melarang radikalisme dan intoleransi berkembang di kampus. Semua pihak harus setia pada NKRI dan Pancasila sebagai ideologi negara," kata Nasir.
Menurut Nasir, kampus memang termasuk tempat yang punya potensi untuk terpapar radikalisme, baik dari dosen, mahasiswa, alumni, maupun pihak luar. Pada pimpinan perguruan tinggi diminta untuk mendeteksi dosen atau mahasiswa yang terindikasi terpapar radikalisme dan intoleransi.
Nasir mengatakan dirinya menerima laporan sejumlah dosen yang didiga terkait radikalisme maupun intoleransi. Pimpinan perguruan tinggi diminta untuk memastikan pendataan dosen/mahasiswa yang terkait radikalisme bisa terus dilakukan dengan serius.
"Sikap kami jelas. Bagi dosen atau mahasiswa yang tidak mau untuk setia pada NKRI dan Pancasila, ya silakan keluar. Sebelumnya diberi kesempatan untuk menentukan sikapnya. Kami mendukung pimpinan perguruan tinggi yang bertindak tegas di kampus masing-masing," ujar Nasir.
Di Gedung DPR pada pekan laku, Nasir mengatakan pada 25 Juni dirinya akan mengumpulkan pimpinn PTN. Pembahasan soal penangkalan radiklisme di kampus akan didiskusikan bersama. Termasuk pula wacana untuk mendata media sosial mahasiswa agar arus informasi terkait radikalisme bis terpantau.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Kemenristek dan Dikti, Intan Ahmad, mengatakan pencegahan radikalisme ini juga dapat dilkukan dengan memperkuat penerimaan pad keberagaman dan berpikir kritis. Kemmpuan ini diperkuat lewat general education yang dikembangkan di banyak kampus di Indonesia.
"General education ini memerdekakan cara berpikir. Perlu dibangun kemampuan berpikir kritis untuk mau menguji informasi yang diterima. Selain itu, budaya akademis kampus yang mengedepankan berpikir rasional juga dibangun," kata Intan. (ELN/ Dhanang David Aritonang)