Publik mengapresiasi langkah pemerintah menambah besaran tunjangan hari raya untuk pegawai negeri sipil, prajurit TNI, anggota Polri, dan pensiunan. Namun, pemberian THR tersebut belum diyakini bakal memperbaiki kinerja aparatur negara dalam melayani masyarakat.
Pada 23 Mei lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2018 mengenai tunjangan hari raya dan gaji ke-13 untuk pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI dan Polri, pejabat negara, serta pensiunan. Dengan PP tersebut, semua PNS, TNI/Polri, pejabat negara, dan pensiunan akan menerima THR yang besarnya satu kali penghasilan mereka pada bulan Mei 2018 ditambah gaji ke-13. Tahun ini pemerintah juga memberikan THR untuk para pensiunan.
Presiden Joko Widodo menyebutkan, hal ini dilakukan sebagai bentuk apresiasi pemerintah sekaligus sebagai harapan agar aparatur negara meningkatkan kinerjanya dalam melayani publik. Keputusan ini juga diharapkan dapat mendongkrak daya beli masyarakat dan menggerakkan perekonomian nasional dengan memanfaatkan momentum Lebaran.
Namun, keputusan pemerintah tersebut tidak lepas dari pro dan kontra. Dari hasil jajak pendapat Kompas akhir Mei lalu terekam bahwa tidak semua responden sepakat dengan langkah tersebut. Hampir 60 persen responden menyatakan sepakat, sementara 36,7 persen responden menyatakan sebaliknya. Publik mengapresiasi sekaligus menyisipkan kritik.
Keputusan pemerintah tersebut tidak lepas dari pro dan kontra. Dari hasil jajak pendapat Kompas akhir Mei lalu terekam bahwa tidak semua responden sepakat dengan langkah tersebut. Hampir 60 persen responden menyatakan sepakat, sementara 36,7 persen responden menyatakan sebaliknya.
Bagian terbesar publik responden di kelompok yang setuju menganggap penambahan besaran THR ini bertujuan baik, yaitu meningkatkan kesejahteraan aparatur negara dan pensiunan. Sementara lainnya optimistis bahwa kebijakan ini dapat mendorong aparatur negara bekerja lebih baik.
Di sisi lain, mereka yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut menilai bahwa gaji dan tunjangan yang diterima aparatur negara saat ini sudah mencukupi sehingga tidak perlu lagi diberikan tambahan tunjangan. Sebanyak 24,5 persen responden di kelompok yang tidak sepakat menilai, anggaran negara lebih baik dialokasikan untuk pembangunan.
Tidak mengherankan jika pendapat ini muncul karena anggaran untuk pemberian THR dan gaji/pensiun ke-13 naik 68,9 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Kini, anggaran tersebut mencapai Rp 35,76 triliun.
Kinerja
Seiring dengan perhatian pemerintah yang terus diberikan kepada aparatur negara, publik berharap kualitas pelayanan mereka kepada masyarakat dapat meningkat. Namun, kenyataannya sering kali tidak bicara demikian.
Berdasarkan data Ombudsman RI, jumlah pengaduan atas dugaan malaadministrasi dalam pelayanan publik justru terus naik. Pada 2016, ada 9.030 aduan, meningkat dibandingkan dengan tahun 2015 yang jumlahnya 6.859 aduan. Pemerintah daerah menjadi instansi terlapor dengan peringkat paling atas. Sementara itu, aduan tentang penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, dan pengabaian pelayanan menjadi dugaan malaadministrasi terbanyak.
Di samping kinerja pelayanan publik yang masih rendah, aparatur negara juga masih rentan terhadap praktik suap. Sejumlah kasus korupsi yang diungkap KPK ternyata melibatkan aparatur negara dalam berbagai jenjang birokrasi dan tersebar di sejumlah lembaga.
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong mengeluarkan laporan tiap tahun tentang peringkat negara-negara Asia dalam hal integritas birokrasi. Dari 16 negara di Asia dan Australia yang disurvei, Indonesia ada di peringkat ketiga paling rendah setelah Kamboja dan Vietnam dalam hal integritas aparat birokrasi dalam melayani publik.
Netralitas
Selain kualitas, publik juga berharap agar aparatur negara, khususnya PNS, dapat terus bersikap netral dalam Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Menurut hasil jajak pendapat, hampir 30 persen publik pernah menyaksikan PNS bertindak tidak netral ketika pemilihan kepala daerah ataupun pemilu presiden dan pemilu anggota legislatif.
Tidak seperti prajurit TNI dan anggota Polri, PNS memiliki hak pilih dalam pemilu dan pilkada. Namun, PNS dilarang menunjukkan keberpihakan kepada salah satu calon. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, disebutkan bahwa PNS dilarang terlibat dalam kampanye untuk mendukung kandidat tertentu di pemilu atau pilkada. PNS juga dilarang menggunakan fasilitas negara, membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan kandidat, dan mengadakan kegiatan yang mengarah keberpihakan kepada kandidat tertentu.
Peraturan ini diperkuat dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dalam UU itu disebut, pasangan calon peserta pilkada dilarang melibatkan pejabat BUMN/BUMD, PNS, Polri, TNI, dan pejabat di daerah dalam kampanyenya.
Namun, sejumlah responden jajak pendapat ini masih menemukan adanya PNS yang melanggar ketentuan di UU Pilkada tersebut. Mengikuti kampanye atau mengampanyekan calon yang didukung menjadi praktik yang paling sering ditemui responden (32,6 persen). Sementara itu, PNS yang menjadi tim sukses calon juga disaksikan 29,5 persen responden.
Terkait temuan di atas, yang kini perlu terus dilakukan tidak hanya mengingatkan PNS bahwa mereka dilarang ikut kampanye atau menggunakan fasilitas negara untuk berpolitik. Kesadaran dan pemahanan masyarakat juga perlu ditumbuhkan agar mereka dapat ikut mengontrol tingkah PNS di pilkada atau pemilu. Ini karena masih ada 22,1 persen responden yang tidak mengetahui bahwa PNS harus netral dalam berpolitik.
Isu pemilu
Pengesahan PP No 19/2018 ini juga diikuti dengan isu bahwa penambahan THR berkaitan dengan pemilu yang akan digelar pada 2019. Kecurigaan tentang hal ini juga muncul dari 53,1 persen responden jajak pendapat ini. Langkah pemerintah dianggap bermuatan politik. Namun, 26,8 persen responden menilai bahwa langkah pemerintah tersebut tidak politis.
Ketidaksiapan sejumlah daerah menyiapkan anggaran untuk THR yang jumlahnya meningkat di APBD menunjukkan belum mulusnya komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Hingga 8 Juni 2018, tercatat baru 380 dari 542 daerah yang membayarkan THR dan gaji ke-13. Komunikasi yang kurang baik ini memberi kesan koordinasi yang tidak lancar antara pemerintah pusat dan daerah.
Terlepas dari isu politik, kebijakan pemberian THR dan gaji ke-13 ini jelas memperbesar kemampuan aparatur negara dalam memenuhi kebutuhan hari raya dan tahun ajaran baru sekolah yang pada gilirannya akan menaikkan sektor konsumsi publik dan akhirnya dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Meski berbagai penilaian skeptis masih mendominasi kinerja aparatur negara, optimisme tetap hadir dari responden jajak pendapat. Separuh bagian publik jajak pendapat meyakini bahwa pelayanan yang diberikan aparatur negara akan membaik dengan meningkatnya perhatian negara.