Ingatan Kolektif tentang "Pasar Proyek" Yang Menyatukan
Pasar Proyek di Bekasi berdiri bukan hanya dari tangan-tangan terampil dan bahan-bahan bangunan, tetapi juga ingatan warga. Memori mereka melintasi waktu, selain persoalan ekonomi kota.
Pembangunan gedung dua lantai di areal Pasar Lama Bekasi tahun 1978 segera saja menyedot perhatian warga. Sejumlah tukang bangunan yang lalu lalang, riuh rendah suara pengerjaan gedung, serta papan bertuliskan “Proyek Pembangunan” yang ada di lahan seluas 1,8 hektare itu belum pernah mereka saksikan sebelumnya.
“Tahun 1978 itu pertama kalinya ada proyek pembangunan di Bekasi,” kata Emong Sulaeman Saam (79), warga Bekasi Timur. Emong, mantan tentara sukarelawan pada masa peralihan Orde Lama ke Orde Baru itu didaulat menjadi petugas pengamanan di lokasi proyek. Ia pun bekerja di sana, sejak 1978 hingga pensiun pada 1999.
Emong mengatakan, Pasar Lama sendiri sudah dikenal turun temurun oleh warga. Waktu pendiriannya sulit diperkirakan. Meski demikian, kawasan Pasar Lama kerap disebut sebagai jantung kota. Selain pusat ekonomi, tempat tersebut juga menjadi acuan bagi masyarakat untuk menaiki alat transportasi umum, karena belum memiliki terminal.
Di kawasan yang saat ini terletak di Jalan Ir H Juanda itu, berbagai komoditas diperjualbelikan. Mulai dari sayur mayur, buah-buahan, hingga aneka kebutuhan rumah tangga yang lain. Namun, konsep Pasar Lama sebagai tempat jual beli beragam komoditas itu bergeser seiring dengan perkembangan pemerintahan.
Pada 1970-an, Bekasi yang masih berbentuk kabupaten membentuk Dinas Pasar yang dikepalai Haji Sasmita. Di bawah kepemimpinannya, areal Pasar Lama dibangun menjadi pasar yang menjual pakaian, sepatu, dan alat-alat rumah tangga. Para pedagang sayur mayur dan buah-buahan, dipindahkan ke Pasar Baru Bekasi yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari Pasar Lama.
Emong mengatakan, pembangunan tersebut berjalan lancar dan cepat. Dalam waktu satu tahun, gedung dua lantai pengganti Pasar Lama sudah rampung. Animo masyarakat atas kehadirannya juga begitu besar.
Pedagang dan pembeli datang dari berbagai wilayah, antara lain Bantar Gebang dan Cikunir. Meski belum ada moda transportasi jarak jauh, mereka rela berjalan kaki belasan kilometer, melewati jalan-jalan tanah menuju pasar tersebut. Moda transportasi yang tersedia hanya untuk jarak dekat, seperti andong, becak, oplet, dan empat unit mikrolet yang panjang trayeknya sekitar 5 kilometer.
Saking besarnya animo masyarakat, kehadiran serta proses pembangunan pasar tersebut terbangun menjadi ingatan kolektif. Tanpa ada konsensus secara tertulis, mereka sepakat untuk menamai gedung tersebut. “Karena dulu di sana itu ada proyek, makanya warga di sini menyebutnya Pasar Proyek,” ujar Emong. Setelah diresmikan pada 1979, pasar itu pun dinamai Pusat Proyek Pertokoan Bekasi.
Menurut Emong, pertokoan itu merupakan pasar pertama yang hadir dalam konsep modern. Dibangun menggunakan dinding beton, ada listrik yang mengalir ke setiap kios, dan menggunakan pintu besi yang saat itu belum lazim digunakan. Sebelumnya, pasar hanyalah areal yang digunakan para pedagang menggelar barang dagangannya, tanpa bangunan permanen.
Tak hanya kios-kios, di lantai dua gedung itu juga terdapat dua bioskop, yaitu Mitra Theater dan Bekasi Theater. Kedua bioskop itu menjadi magnet yang menarik masyarakat, terutama muda mudi.
Mereka meluangkan waktu untuk mengantre membeli tiket demi film-film yang waktu putarnya hanya tiga kali dalam sehari, yaitu pukul 16.00, 19.30, dan 21.00. Bahkan, para remaja yang tidak memiliki cukup uang pun bisa ikut menikmati hiburan baru tersebut. Mereka harus menunggu untuk memastikan tidak semua kursi penonton terisi, kemudian masuk sekitar 15 menit setelah film dimulai.
“Saya nggak pernah nonton film sejak menit-menit awal, karena nggak pernah beli tiket,” kata Agus Karyadi (49), warga Bekasi Timur, sambil terbahak-bahak mengingat masa remajanya. Ia menuturkan, kedua bioskop itu menghadirkan ragam film yang berbeda. Mitra Theater memutarkan film-film lokal dan India, sedangkan Bekasi Theater khusus menyajikan film dari Eropa dan Amerika.
“Salah satu film yang laku keras saat itu adalah Bunga Desa yang diperankan oleh Rhoma Irama,” kata Agus. Dari bioskop itu pula Agus mengenal jenis film horor zombie dan sosok agen rahasia tersohor dunia, James Bond.
Selain itu, ada pula ragam permainan modern. Mulai dari mesin permainan arcade atau dingdong, hingga beragam mesin mainan lain yang dijalankan dengan memasukkan koin. “Kalau sudah main di Pasar Proyek, saya hampir lupa pulang,” ujar Agus yang jarak rumahnya ke pasar hanya sekitar 1 kilometer.
Kelengkapan pasar tersebut juga menjadi rujukan utama warga untuk menghabiskan waktu bersama keluarga. Yumenah (73), warga Bekasi Timur, masih ingat, ia selalu menyemangati anak-anaknya untuk cepat mandi dan merapikan diri di siang hari dengan imbalan akan mengajak mereka ke sana pada sore hari.
Emong mengatakan, besarnya animo masyarakat untuk menikmati seluruh fasilitas yang disediakan membuat pasa selalu ramai, terutama pada akhir pekan dan menjelang Lebaran. “Kalau sudah mau Lebaran, saya sampai nggak bisa jalan untuk patroli ke dalam pasar karena saking penuhnya pengunjung,” ujar dia.
Meredup
Menurut Tia Herawati (65), pedagang yang telah berjualan di Pusat Pertokoan Proyek Bekasi sejak 1979, sejak awal diresmikan hingga akhir dekade 1980-an merupakan masa keemasan bagi para pedagang. Selain animo masyarakat yang besar, mereka juga dapat membeli kios di pertokoan dengan harga terjangkau, yaitu sekitar Rp 1,4 juta—Rp 3,5 juta untuk digunakan selama 20 tahun. Pihak pengelola pun membentuk Koperasi Pusat Pertokoan Bekasi untuk menampung aspirasi pedagang.
Namun, masa kegemilangan itu mulai meredup pada 1988. Di bagian belakang pasar didirikan sebuah pusat perbelanjaan bernama Hembo. Sejak dioperasikan, omzet pedagang menurun drastis, beberapa di antaranya bangkrut (Kompas, 24/4/1991).
Aktivitas pedagang memang tidak berhenti karena dioperasikannya Hembo, tetapi kegelisahan mereka berlanjut. Pada 1990, lantai dua di bagian depan pertokoan dilirik oleh Ramayana Group, perusahaan eceran bermodal besar. Agus Karyadi yang juga bekerja sebagai Staf Unit Pusat Pertokoan Proyek Bekasi sejak 1986—2015 mengatakan, untuk membuka Pusat Perbelanjaan Ramayana, dua bioskop yang menempati areal lantai dua pun digusur.
Setelah melalui pertentangan yang panjang, Pusat Perbelanjaan Ramayana beroperasi setelah diresmikan Bupati Bekasi pada 1991. Persaingan perdagangan pun beralih ke Ramayana dan Hembo. Sementara itu, pedagang kecil bertambah hancur.
Pada Februari 1991, separuh dari total 11.045 toko, kios, dan los tidak berfungsi. Sebagian pedagang tidak lagi membayar retribusi antara lain keamanan dan kebersihan. Akibatnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi menderita kerugian sebesar Rp 143,7 juta per bulan atau Rp 1,72 miliar per tahun (Kompas, 24/4/1991).
Tidak berhenti sampai disitu, kegelisahan pedagang memuncak pada 1998. Tia menuturkan, pada masa reformasi, para pedagang terdampak imbas kerusuhan. Meski Pusat Perbelanjaan Ramayana yang menjadi sasaran utama penjarahan dan pembakaran, pedagang kecil pun was-was. “Waktu itu suasananya sangat mencekam. Setiap ada kabar terjadi kerusuhan, kami langsung menutup toko dan pulang ke rumah,”ujar Tia.
Tia bersyukur, toko kancing dan alat-alat jahitnya yang telah beroperasi hampir 20 tahun tidak menjadi korban kerusuhan. Warga setempat yang terdiri atas beragam etnis bahu membahu melindungi toko-toko yang hampir dijarah dan dibakar. Sebagaimana terjadi di wilayah-wilayah lain, warga keturunan China menjadi sasaran kerusuhan. Di Pasar Proyek, hampir separuh pedagang adalah warga Bekasi keturunan China.
Sejak saat itu, kata Tia, perdagangan di pasar kian sepi saja. “Untungnya saya berdagang sejak awal berdirinya pasar ini, jadi masih bisa mengandalkan pelanggan yang sudah kenal selama puluhan tahun,” ucap dia.
Sekali pasar proyek, tetap pasar proyek
Berdasar pada sepinya perdagangan dan perkembangan zaman, pemerintah ketika Bekasi sudah bertransformasi menjadi kotamadya kembali mengubah konsep Pasar Proyek. Pada 2010, gedung Pusat Proyek Pertokoan Bekasi diratakan, tidak bersisa. Pasar diganti menjadi mal bernama Bekasi Junction yang resmi beroperasi pada 2013.
Bekasi Junction merupakan gedung yang terdiri dari tiga lantai dan dilengkapi areal parkir bawah tanah. Sebagian pedagang lama kembali berdagang di sana, namun mereka terbagi ke dalam dua area, yaitu area depan dengan ruangan berfasilitas penyejuk udara dan area belakang tanpa penyejuk udara. Pusat Perbelanjaan Ramayana pun masih ada, posisinya tetap berada di bagian paling depan. Namun, puluhan kios di lantai dua dan lantai tiga kosong. Masih tertempel informasi penyewaan di sana.
Pedagang tekstil Bekasi Junction, Bayu (62), mengatakan, sejak ia memulai berdagang pada 2013 hingga saat ini, perdagangan di sana cenderung sepi. Dari tahun ke tahun, omzet dan keuntungannya tidak pernah naik secara signifikan.
“Beragam upaya sudah dilakukan untuk membuat Bekasi Junction lebih ramai, termasuk membuka Mal Pelayanan Publik pada awal 2018,” kata Agus.
Menurut dia, para pembeli beralih ke pasar-pasar lain. Di seluruh Kota Bekasi, terdapat 14 pasar tradisional dan sekitar 20 mal. Meski Bekasi Junction terletak di pusat Kota Bekasi, berdekatan dengan Stasiun Bekasi, Terminal Bekasi, dan dilewati mikrolet dari berbagai jurusan, pembeli cenderung tidak lagi tertarik menyambanginya.
Salah satu upaya paling besar adalah mengembalikan nama. Kini, Bekasi Junction menyandang nama Pasar Proyek Trade Center. Ingatan kolektif warga akan tempat itu belum hilang, karena sekali Pasar Proyek, tetap Pasar Proyek!