Insinerator Bisa Memicu Polusi
Teknologi termal atau insinerator dalam pengolahan sampah dikritik. Sebab, hal itu memicu polusi udara dan abu pembakaran mengandung bahan beracun.
JAKARTA, KOMPAS — Percepatan pembangunan instalasi pengolahan sampah menjadi listrik yang dipastikan akan menggunakan teknologi termal atau insinerator memicu masalah baru. Hal ini mengingat biaya operasionalnya tinggi serta efek lingkungan yang ditimbulkan berupa pencemaran udara dan abu pembakaran memiliki sifat bahan berbahaya dan beracun (B3).
Percepatan pembangunan instalasi pengolahan sampah menjadi listrik itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 yang terbit 20 April 2018. Peraturan Presiden itu berjudul ”Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan”.
Sekilas perpres ini mirip dengan Perpres Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar. Peraturan Presiden itu dibatalkan Mahkamah Agung (MA) atas permohonan sekelompok LSM dan individu.
Sejumlah pihak menilai Perpres No 35/2018 merupakan ”akrobat” hukum dari pemerintah untuk memaksakan proyek sampah menjadi energi segera dijalankan. Proyek ini dituding sebagai cara cepat pemerintah menghilangkan tumpukan sampah dengan mengabaikan risiko ekonomi, sosial, kesehatan, dan mutu lingkungan.
Sejumlah pihak menilai Perpres No 35/2018 merupakan ”akrobat” hukum dari pemerintah untuk memaksakan proyek sampah menjadi energi segera dijalankan.
”Teknologi yang didorong Peraturan Presiden (Nomor 35 Tahun 2018) dibuat lebih umum menjadi teknologi ramah lingkungan. Kenyataannya, teknologi yang dipromosikan tetap teknologi termal yang tidak berkelanjutan,” kata Dwi Sawung, pengampanye perkotaan dan energi dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Sabtu (9/6/2018), di Jakarta.
Kementerian Koordinator Kemaritiman menyatakan membuka diri terhadap teknologi lain selain teknologi termal. Pemerintah pun berupaya meyakinkan kebijakan ini tak akan dipaksakan jika studi kelayakan menyatakan proyek tak layak (Kompas, 27 April 2018).
Teknologi termal dinilai akan sangat banyak membutuhkan energi mengingat sampah rumah tangga yang dihasilkan di Indonesia berkarakter basah. Perlu energi untuk pengeringan agar dapat dibakar.
Bahan bakar yang digunakan pun bisa bersumber dari batubara, terutama jenis batubara kalori rendah yang memiliki harga murah. Batubara berkalori rendah ini bisa melepaskan merkuri, baik ke udara maupun dalam abu pembakarannya (fly ash). Hal itu membuat abu batubara digolongkan sebagai limbah B3 yang membutuhkan pengelolaan khusus.
Abu dari sampah rumah tangga yang berasal dari berbagai jenis material pun berisiko sebagai limbah B3. Hal itu karena pemilahan sampah di masyarakat dan pengangkutan masih amat buruk.
Sebagai contoh, jika insinerator membakar material plastik dan baterai, akan menghasilkan abudan debu berbagai senyawa karsinogenik dioksin dan furans. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Pengolahan Sampah secara Termal mensyaratkan baku mutu emisi kandungan dioksin dan furan paling tinggi 0,1 mikrogram per nano meterkubik dan merkuri paling tinggi 3 mikrogram per nano meterkubik.
”Abu yang dihasilkan ini harus dikelola di tempat penampungan akhir (TPA) B3. Setiap kota yang akan membangun PLTSa (pembangkit listrik tenaga sampah) wajib membangun TPA B3 juga yang harus dikelola secara profesional dan berbiaya tinggi,” kata Yuyun Ismawati, Penasihat Senior Yayasan Bali Fokus.
Paradigma lama
David Sutasurya dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi mengatakan, penerbitan Perpres No 35/2018 ini menunjukkan pemerintah gagal keluar dari paradigma pengelolaan sampah lama, yakni bertumpu pada pemrosesan akhir.
Penerbitan Perpres No 35/2018 ini menunjukkan pemerintah gagal keluar dari paradigma pengelolaan sampah lama, yakni bertumpu pada pemrosesan akhir.
Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Rumah Tangga memprioritaskan pengurangan sampah melalui reduce, reuse, recycle (3R).
”Perpres baru ini seolah merupakan upaya instan pemerintah untuk mencapai target penanganan sampah tahun 2025 sebesar 70 persen. Pencapaian target yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 97/2017 (tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga) itu tanpa mempertimbangkan arah kebijakan yang lebih mendasar,” ungkapnya.
Dwi Sawung menambahkan, kelayakan proyek PLTSa dipertanyakan. Sebab, sampai saat ini belum ada satu pun PLTSa termal berhasil didorong oleh pemerintah untuk menandatangani perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Proyek-proyek PLTSa tetap dipaksakan berjalan dan PLN seolah ”dipaksa” untuk membeli listrik dari PLTSa dengan harga mahal meski Pulau Jawa dan Bali saat ini berada dalam kondisi kelebihan suplai energi listrik.
Selain itu, pemerintah daerah juga diminta membayar tipping fee pengelolaan sampah yang sangat mahal. Dengan kebutuhan kontrak bersifat jangka panjang, tipping fee yang mahal dapat jadi jebakan fiskal jangka panjang bagi pemerintah daerah.